RADAR TANGSEL RATAS – Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Moskow, Vladimir Putin menyatakan ketertarikannya mengembangkan industri nuklir Indonesia. Putin mengatakan sebenarnya ada banyak perusahaan energi Rusia yang sudah beroperasi di Indonesia.
“Banyak perusahaan kami, termasuk perusahaan energi yang beroperasi di Indonesia. Ada ketertarikan untuk mengembangkan industri tenaga nuklir nasional,” kata Putin dalam pernyataan resminya, seperti yang dikutip kantor berita Rusia, RIA Novosti, Jumat (1/7).
Putin mengklaim perusahaan energi Rusia cukup kompeten dan berpengalaman. Ia pun meyakini bahwa teknologi yang dimiliki perusahaan Rusia tidak tertandingi.
Dalam pembicaraan itu, Putin menyodorkan nama Rosatom State Corporation yang bersedia mengambil bagian dalam pengembangan proyek bersama. Rosatom merupakan perusahaan energi nuklir terkemuka yang sudah bermitra di 50 negara di dunia.
“Termasuk proyek yang terkait dengan penggunaan non-energi teknologi nuklir, misalnya di bidang kedokteran dan pertanian,” katanya menambahkan.
Mengomentari ketertarikan Rusia tersebut, peneliti dari Departemen Hubungan Internasional di Pusat Studi Strategis Internasional, Waffa Kharisma, menilai Indonesia saat ini memang membutuhkan teknologi nuklir. Terlebih, ia melihat Indonesia kini juga terbuka untuk kemungkinan kembali membangun reaktor nuklir dan mengeksplorasinya.
“Kalau kita melihat ada semacam kesempatan untuk misalnya mengeksplorasi pengembangan teknologi nuklir, harusnya itu bisa disambut baik juga,” kata Waffa seperti yang dikutip cnnindonesia.com (1/7).
Waffa menilai bahwa tawaran kerja sama itu bukanlah pembentukan senjata nuklir atau energi nuklir yang digunakan untuk senjata, tapi mungkin terkait teknologi pembangkit listrik bertenaga nuklir.
Menurutnya, pembahasan teknologi nuklir di RI memang sempat tabu sebelum era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi kini DPR dan lembaga terkait mulai banyak membahas pengembangan teknologi nuklir.
Pengembangan yang dibahas bukan saja untuk kepentingan kesehatan atau pendidikan, tapi juga reaktor yang sesungguhnya dan bisa berguna menjadi sumber listrik. “Saya pikir perlu disambut ya kalau teknologi dari Rusia itu dianggap pemerintah membantu,” ujar Waffa.
Meski demikian, Waffa juga memberi catatan khusus terkait tawaran Rusia di tengah situasi perang yang masih berkecamuk. Ia mempertanyakan apakah kesempatan kerja sama dengan Rusia ini akan merugikan Indonesia secara diplomatik atau tidak.
“Misalnya, nanti disebut akan berkontribusi pada lamanya perang di Ukraina. Karena Indonesia dianggap bukannya memberi sanksi atau semacam tekanan kepada Rusia, tapi membantu [dengan menjalin kerja sama] dan malah berinovasi,” ungkapnya.
Waffa menegaskan bahwa hubungan kerja sama antarnegara merupakan hak masing-masing, apalagi dengan tujuan yang tak menimbulkan ancaman atau bahaya. “Saya tetap berada di posisi bahwa, untuk memutuskan ada kerja sama dengan siapa, itu adalah hak berdaulat kita. Apalagi kalau tujuan kerjasamanya dalam kerangka yang baik,” tuturnya. (BD)