Ekonom: Lonjakan Inflasi di Indonesia Mulai Abnormal dan Mengarah ke Stagflasi?

0
135
Menurut ekonom, tekanan inflasi beberapa bulan ke depan bisa berlanjut. Bahkan angka inflasi hingga akhir tahun bisa mencapai 4,5 persen hingga 5 persen (year on year). (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi inflasi sebesar 4,35 persen pada Juni 2022 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Kenaikan inflasi tahunan yang berada di atas angka empat ini merupakan yang tertinggi sejak 2017 alias lima tahun terakhir. Peningkatan inflasi terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang mencapai 10,07 persen (yoy).

Selain itu, kenaikan inflasi ini juga terjadi di tengah ketidakpastian global akibat perang Rusia dengan Ukraina dan harga minyak mentah yang melambung.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan kenaikan inflasi harus diwaspadai di paruh kedua tahun ini. Pasalnya, ia mulai mencium tanda bahwa inflasi mengarah ke stagflasi.

Hal itu terlihat dari kenaikan inflasi tahunan yang tinggi pada bulan Juni. Kenaikan itu abnormal atau tidak wajar. Sebab, secara musiman pasca Lebaran idealnya inflasi mulai menurun akibat normalisasi harga pangan.

“Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal stagflasi yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja juga,” kata Bhima seperti yang dikutip CNNIndonesia.com (5/7).

Bhima menjelaskan, masih ada 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi. Jumlah yang ia sebut ini selaras dengan data dari BPS yang mencatat jumlah penduduk usia kerja yang terdampak pandemi covid-19 berkurang 7,57 juta orang dalam setahun terakhir, sehingga totalnya menjadi 11,53 juta orang pada Februari 2022.

BACA JUGA :  Bila Suara PDIP Pecah Karena Ganjar dan Puan Nyapres, Maka Prabowo yang Diuntungkan?

Dengan kondisi seperti ini, kata Bhima, tekanan inflasi beberapa bulan ke depan bisa berlanjut. Ia memprediksi inflasi hingga akhir tahun dapat mencapai 4,5 persen hingga 5 persen (yoy).

Bhima lalu menyebut risiko terbesar adalah imported inflation, yakni pelemahan kurs yang membuat harga berbagai barang di dalam negeri meningkat. Selain itu, kebijakan pemerintah yang ‘memaksa’ masyarakat membeli BBM jenis Pertamax dengan menerapkan kebijakan beli BBM subsidi jenis pertalite dan solar dengan aplikasi MyPertamina juga dapat memicu kenaikan inflasi.

Tidak hanya itu, pemberlakuan MyPertamina sebagai kewajiban beli Pertalite juga bisa meningkatkan jumlah orang miskin baru. Ia juga khawatir hal tersebut membuahkan pelemahan konsumsi rumah tangga yang signifikan.

Pelemahan sebenarnya sudah tercium dari peralihan atau migrasi yang dilakukan masyarakat dari pertamax ke pertalite saat pemerintah menaikkan harganya beberapa waktu lalu.

“Bayangkan orang miskin harus punya gadget, beli pulsa dulu untuk dapatkan hak nya. Sementara hanya 14 persen desil terbawah atau rumah tangga miskin yang gunakan internet,” imbuh Bhima.

BACA JUGA :  Telkom Gelar B2B Camp Summit Day, Siap Kuasai Pasar B2B

Terkait pernyataan Kemenkeu yang menyebut inflasi Juni ini masih moderat, Bhima mengatakan itu karena produsen masih tahan harga. “Dan administered prices atau harga energi subsidi masih dijaga pemerintah. Sampai kuartal I 2022 inflasi harga produsen sebenarnya sudah 9 persen yoy,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Bhima meminta pemerintah untuk menahan dulu pembatasan subsidi BBM, LPG 3 kg, dan tarif listrik. Apalagi, APBN masih surplus Rp132 triliun per Mei 2022. Ia yakin pemerintah bisa menahan subsidi dengan beberapa opsi. Pertama, alihkan windfall penerimaan dari komoditas ke subsidi energi.

Kedua, alihkan sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang belum terserap untuk tambah kompensasi BBM dan listrik. Ketiga, tunda proyek infrastruktur yang belum prioritas.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan proyeksi ekonomi Indonesia di paruh kedua 2022 tergantung pada beberapa hal. Termasuk di dalamnya, bagaimana kelanjutan proses pemulihan ekonomi yang dilihat dari berbagai indikator, seperti penjualan riil, keyakinan konsumen, Purchasing Managers Index (PMI), dan inflasi.

“Indikator inflasi menjadi penting karena ini akan mempengaruhi kondisi daya beli masyarakat dan kita tahu kondisi daya beli masyarakat akan mempengaruhi seberapa tinggi Pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga di sisa akhir 2022,” imbuh Yusuf.

BACA JUGA :  Ngidam Makan Sushi, Jessica Wongso Tersenyum usai Bebas Bersyarat, Ngidam Makan Sushi

Yusuf menyebut peluang inflasi berada pada batas atas dari range prakiraan pemerintah itu cukup besar. Pasalnya, melihat dari inflasi terakhir di Juni 2022 itu memang relatif tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan posisi yang sama di tahun lalu yang hanya mencapai 1,33 persen (yoy).

Ia juga memperkirakan pada semester II tahun ini tekanan terhadap kenaikan harga barang dan jasa masih berpeluang terjadi. Mengingat beberapa kebijakan pemerintah sudah mulai berjalan, seperti misalnya kenaikan harga pertamax dan juga tarif listrik.

“Belum lagi jika kita berbicara intervensi bantuan pemerintah. Jika asumsinya pemerintah tidak menyalurkan bantuan tambahan di tengah kenaikan inflasi yang tinggi maka ini saya kira akan sekali lagi menekan daya beli masyarakat,” sambung Yusuf.

Oleh karena itu, Yusuf memprediksi inflasi Indonesia bisa menyentuh angka 4,5 persen (yoy) pada akhir tahun. “Proyeksi sementara kami masih berada di kisaran 4 persen sampai dengan 4,5 persen. Namun kami akan melakukan penyesuaian angka kembali, mengikuti situasi,” tuturnya. (BD)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini