RADAR TANGSEL RATAS – Ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan bakal menghadapi resesi selama 12 bulan ke depan. Hampir empat dari lima pekerja di AS khawatir kehilangan pekerjaan akibat resesi ekonomi yang berpotensi kembali terjadi.
Berdasarkan survei yang baru dirilis perusahaan kepegawaian Insight Global, sebanyak 54% pekerja khawatir akan menerima pemangkasan gaji jika resesi terjadi dan mereka tetap bekerja. Sebagian pekerja lainnya menganggap perusahaan tempat mereka bekerja tidak akan tahan menghadapi resesi ekonomi.
Hasil survei yang digelar pada bulan Juni terhadap 1.000 pekerja AS menunjukkan bahwa hampir sembilan dari 10 manajer mengaku kemungkinan harus memberhentikan karyawan selama resesi ekonomi. Mayoritas peserta survei bekerja di industri kerah putih.
Sebelumnya, perusahaan pialang Global Nomura Holdings telah memperkirakan bahwa banyak negara dengan ekonomi besar akan jatuh ke jurang resesi dalam 12 bulan ke depan. Risiko ini datang seiring langkah agresif bank sentralnya untuk memperketat kebijakan moneter demi melawan lonjakan inflasi.
Para ekonom pun memperkirakan resesi ekonomi akan kembali terjadi di AS seiring langkah agresif bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga demi mengendalikan lonjakan inflasi. Kenaikan harga saat ini telah melampaui kenaikan upah dan melemahkan daya beli warga AS, membuat banyak orang menyimpulkan bahwa resesi ekonomi sudah terjadi.
Menurut Kepala Riset pasar global Asia ex-Jepang, Rob Subbaraman, banyak bank sentral telah beralih ke mandat tunggal untuk menurunkan inflasi. “Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif,” ujarnya seperti yang dikutip CNBC, Kamis (7/6).
Sementara itu, mantan Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Ken Rogoff mengungkapkan bahwa The Fed, bank sentral AS, tidak mungkin menurunkan inflasi tanpa risiko resesi. The Fed harus memilih apakah harus menurunkan inflasi dengan cepat atau akan membawa AS ke dalam resesi.
“Saya pikir mereka mengatakan bahwa mereka akan menurunkan inflasi,” tutur Rogoff seperti yang dikutip CNN Early Start, Minggu (10/7). “Tidak ada jalan keluar yang mudah,” kata Rogoff, menambahkan.
Ia mengatakan The Fed akan memperlambat kenaikan suku bunga yang agresif dengan sangat cepat. Oleh karena itu, Rogoff merasa kecewa atas apa yang terjadi dengan ekonomi di AS. “Saya tidak berpikir ini harus terjadi. Kami menginjak pedal gas terlalu lama dan (memberi) terlalu banyak stimulus secara terlambat,” ungkapnya.
Rogoff juga mengatakan gangguan pasokan dan perang di Ukraina yang menambah krisis inflasi, menurutnya adalah tantangan yang lebih besar daripada yang diperkirakan The Fed. “Saya pikir secara pribadi, mereka harus tenang dan membiarkan inflasi tetap tinggi beberapa tahun dan berjalan lambat,” katanya.
Sebelumnya, produk domestik bruto (PDB) AS menunjukkan bahwa kondisi ekonomi negara adidaya tersebut tengah berada di ambang resesi. Proyeksi itu berdasarkan pelacakan PDB The Atlanta Federal Reserves yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS hanya 0,9 persen pada kuartal II 2022, turun dari kuartal I yang masih mampu tumbuh 1,5 persen.
Dilansir dari CNBC, kondisi penurunan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut merupakan salah satu tanda resesi. Ekonomi AS tertekan oleh lonjakan harga komoditas di tengah tantangan usai pandemi dan perang Rusia-Ukraina. (BD)