Keberatan Myanmar Ditolak Pengadilan PBB, Kasus Genosida Rohingya Tetap Disidangkan

0
91
Menurut Wikipedia, penindasan terhadap Rohingya di Myanmar pada tahun 2016 hingga 2017 adalah tindakan kekerasan militer yang dilakukan oleh angkatan bersenjata dan kepolisian Myanmar. Saat itu, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Majelis hakim di pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Jumat lalu (22/7) menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang menuduh pemerintah Myanmar bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.

Seperti yang dikutip VOA Indonesia, Minggu (24/7), keputusan yang menetapkan yurisdiksi Mahkamah Internasional itu memastikan penyelenggaraan sidang yang akan menyiarkan bukti-bukti kekejaman terhadap Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia dan hasil penyelidikan PBB telah melanggar Konvensi Genosida tahun 1948.

Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa penindasan yang disertai kekerasan terhadap populasi Rohingya di Myanmar tergolong genosida.

Tun Khin, Presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyambut baik keputusan itu. Ia mengatakan 600.000 warga Rohingya masih menghadapi genosida, sementara satu juta orang yang berada di kamp-kamp di Bangladesh menanti harapan ditegakkannya keadilan.

Gambia, negara di Benua Afrika, mengajukan kasus tersebut pada tahun 2019 di tengah kemarahan dunia atas perlakuan terhadap warga Rohingya. Gambia melihat ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya, di tengah tindakan brutal pasukan Myanmar pada 2017.

BACA JUGA :  Waduh! Dua Sersan TNI Dipecat dari Dinas Militer Karena Terlibat LGBT

Gambia berpendapat bahwa negaranya dan Myanmar sama-sama penandatangan Konvensi 1948, dan semua penandatangan memiliki kewajiban untuk menjamin konvensi itu ditegakkan.

Saat membacakan kesimpulan keputusan, Hakim AS Joan E. Donoghue, mengatakan bahwa setiap negara pihak Konvensi Genosida dapat meminta pertanggungjawaban negara pihak lain, termasuk melalui persidangan di pengadilan.

Sekelompok kecil pengunjuk rasa pro-Rohingya berkumpul di luar markas Mahkamah Internasional, The Peace Palace, sebelum putusan itu diumumkan. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan: “Percepat penegakkan keadilan bagi Rohingya. Penyintas genosida tidak bisa menunggu bergenerasi-generasi.”

Salah satu pengunjuk rasa menginjak-injak foto pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Pengadilan menolak argumen para pengacara Myanmar dalam sidang Februari lalu. Saat itu, pengacara Myanmar meminta kasus itu dibatalkan karena pengadilan dunia hanya mengatur perselisihan antarnegara, dan keluhan mengenai Rohingya itu diajukan oleh Gambia atas nama organisasi kerja sama Islam.

Majelis Hakim juga menolak klaim Myanmar bahwa Gambia tidak dapat mengajukan gugatan karena negara itu tidak terkait secara langsung dengan peristiwa di Myanmar dan bahwa tidak ada sengketa hukum yang terjadi di antara kedua negara sebelum kasus itu diajukan.

BACA JUGA :  Catat! Pemerintah Bakal Berikan Subsidi bagi Pembeli Mobil Listrik

Sebagai informasi, pada tahun 2017 yang lalu, militer Myanmar meluncurkan apa yang disebutnya sebagai kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine menyusul sebuah serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya.

Saat itu, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Pasukan keamanan Myanmar telah dituduh melakukan perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah warga Rohingya. (BD)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini