RADAR TANGSEL RATAS – Mangkir terus dua kali berturut-turut saat dipanggil penyidik, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kalimantan Selatan (Kalsel), Mardani H. Maming akhirnya dijemput paksa. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa tersangka dugaan kasus korupsi suap tambang Rp 89 miliar tersebut hari ini.
Informasi yang dihimpun awak redaksi Kantor Berita RADAR TANGSEL ratas.id, politisi PDIP yang juga bendahara umum PBNU itu dijemput paksa di sebuah apartemen di Jakarta. Bahkan, penyidik KPK melakukan penggeledahan di apartemen Mardani Maming.
Penjemputan paksa tersangka Mardani Maming itu dibenarkan pihak lembaga antirasuah KPK. “Benar, hari ini tim penyidik (KPK) melakukan penggeledahan di salah satu apartemen di Jakarta dalam rangka jemput paksa tersangka dugaan korupsi izin usaha pertambangan di Tanah Bumbu Kalsel,” ucap Plt. Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri, Senin (25/7/2022).
Mardani H. Maming sendiri adalah tersangka kasus dugaan korupsi izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Penyidik KPK terpaksa mengambil langkah jemput paksa Mardani Maming karena ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu dua kali mangkir dari panggilan penyidik. Alasan Mardani Maming mangkir dikarenakan ada gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ali Fikri pun menegaskan, tidak ada dasar hukum bahwa praperadilan dapat menghentikan proses penyidikan. “Tidak ada dasar hukum satupun bahwa praperadilan dapat menghentikan proses penyidikan yang sedang KPK lakukan ini,” tandas Ali.
Pengganti Febri Diansyah itu menjelaskan, proses praperadilan hanya untuk menguji syarat formal keabsahan. “Bukan untuk menguji substansi penyidikan. Dan tentu kami hargai proses dimaksud,” tukasnya.
Hingga berita ini diturunkan, gugatan praperadilan politisi muda PDI Perjuangan itu masih berlangsung. Dalam menggugat status tersangkanya, loyalis Megawati ini dibela mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana.
Untuk diketahui, Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Christian Soetio, mengungkapkan, ada aliran dana kasus suap izin usaha tambang kepada eks Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming. Hal itu diungkapkan Christian dalam sidang dengan terdakwa mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Jumat, 13 Mei 2022.
Christian menjadi saksi dalam sidang tersebut bersama Manajer Operasional PT Borneo Mandiri Prima Energi (BMPE), Suryani; dan pegawai PT PCN, Muhammad Khabib. Christian menduduki posisi Dirut PT PCN menggantikan posisi kakak kandungnya Henry Soetio yang telah meninggal dunia pada Juni 2021.
Dalam sidang tersebut, Christian mengetahui adanya aliran dana kepada Mardani melalui PT Permata Abadi Raya (PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (TSP). PT PAR dan TSP bekerja sama PT PCN dalam hal pengelolaan pelabuhan batu bara dengan PT Angsana Terminal Utama (ATU). Mardani yang juga menjabat sebagai ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Kalimantan Selatan disebut sebagai pemilik saham PAR dan TSP.
Keterangan Christian itu pun sempat menjadi perhatian dari Anggota Hakim Tipikor Ahmad Gawi. “Saksi tadi menyampaikan bahwa dana yang mengalir ke Mardani totalnya berapa?” tanya Ahmad Christian.
“Ratusan miliar yang mulia. Mohon maaf yang mulia, transfer ke Mardani, tapi transfernya ke PT PAR dan PT TSP,” aku Christian.
Ia mengetahui aliran dana itu karena pernah membaca pesan WhatsApp dari Henry Soetio yang ditujukan kepada Resi, pegawai bagian keuangan PT PCN. Resi diperintahkan mentransfer duit ke Mardani H Maming lewat PT PAR dan TSP.
“Ada berapa kali perintah itu?”lanjut Ahmad Gawi.
“Yang saya tahu di WA berkali-kali yang mulia,” jawab Christian.
“Berapa totalnya?” tanya Ahmad Gawi.
“Total yang sesuai TSP dan PAR itu nilainya Rp 89 miliar yang mulia,” ucap Christian Soetio mengutip laporan keuangan PT PCN yang dia baca di persidangan.
“Jadi total Rp 89 miliar untuk TSP dan PAR?” tanya Ahmad Gawi.
“Betul yang mulia,” jawab Christian Seotio.
“Itu sejak tahun?” lanjut Gawi.
“2014 yang mulia, sampai 2020. TSP dan PAR masuk Grupnya 69. Yang saya ketahui, yang saya dengar, punyanya Mardani,” ucap Christian Soetio.
“Memang tidak langsung ke Mardani dari Resi itu?” tanya Ahmad Gawi.
“Siap yang mulia,” ucap Christian.
Christian pun menyatakan pernah mendengar dari Henry Soetio bahwa kakaknya hendak diperkenalkan kepada terdakwa Dwidjono Putrohadi oleh Mardani H Maming. Kabar ini Christian terima lewat sambungan telepon.
Dia pun mengaku sempat mendengar soal hutang piutang antara Henry Setio dan terdakwa Dwidjono. Christian turut menunjukkan selembar bukti ikatan hutang piutan antara Henry Soetio dan Dwidjono Putrohadi kepada majelis hakim.
Kuasa hukum terdakwa Dwidjono, Lucky Omega Hassan, berkata kesaksian tiga orang itu untuk meringankan Dwidjono yang sudah berniat jadi justice collaborator. Menurut Lucky, kesaksian Christian menguatkan keterlibatan Mardani H Maming dalam konteks peralihan IUP.
Karena, ujar Lucky, ada aliran dana yang diterima oleh perusahaan-perusahaan afiliasi milik keluarga dari Mardani H Maming atau Grup Batulicin 69.
“2015 dia (Christian Seotio) mendengar sendiri percakapan dengan Mardani untuk setoran. Dari 2015 yang ketahuan, sedang itu berakhir sampai 2020. Total yang sudah dikeluarkan untuk bahasanya dalam persidangan tadi,jatah ya.Yang dikeluarkan sendiri sudah Rp 89 miliar ditujukan kepada perusahaan afiliasi Grup 69, PT PAR dan PT TSP,” papar Lucky Omega Hassan.
Lucky berharap kesaksian Christian Soetio bisa ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Karena ada dugaan aliran dana yang sifatnya tidak langsung, tapi ada afiliasi melalui perusahaan-perusahaan Grup 69 itu,” pungkas Lucky Omega Hassan.
Kasus korupsi ini berawal dari peralihan izin usaha tambang dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN pada 2011, saat Mardani massih menjadi Bupati Tanah Bumbu. Hal itu dinilai melanggar peraturan karena izin usaha tambang tidak diperbolehkan untuk dialihkan.
Kejaksaan Agung yang menangani kasus ini menjadikan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo sebagai tersangka. Menurut kejaksaan, Dwidjono menerima uang sebesar Rp 10 miliar dari PT PCN. Padahal, menurut pengacara Dwidjono, Isnaldi, uang tersebut sebagai piutang yang sudah diselesaikan urusannya.
Pengacara Dwidjono justru menuding Mardani H Maming yang menerima aliran dana dari PT PCN. Dalam suratnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Isnaldi, membeberkan peran Mardani dan aliran dananya.
Menurut Isnaldi, Mardani yang merupakan politikus PDI Perjuangan memperkenalkan kliennya dengan Henry Soetio. Saat itu, Mardani disebut meminta Dwidjono untuk mengurus dan menyelesaikan proses pengalihan IUP tersebut. Proses pengalihan tersebut pun berakhir dengan keluarnya surat keputusan yang ditandatangani oleh Mardani H Maming.
Mardani H. Maming membantah ikut bertanggung jawab dalam kasus suap tersebut. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu menyatakan menandatangani SK tersebut karena sudah menganggap prosesnya tak cacat hukum setelah diperiksa oleh Dwidjono dan bawahannya yang lain.
“Baru dibawa kepada saya berupa SK, dan surat rekomendasi pernyataan bahwa ini sudah sesuai aturan yang berlaku. Diparaf kabag hukum, bisa asisten dan sekda. Seandainya tidak sesuai aturan, harusnya proses itu tidak sampai ke meja saya,” bantah Mardani H. Maming. (AGS)
Wow, awesome blog format! How long have you ever
been blogging for? you make blogging glance easy. The full
glance of your site is wonderful, as neatly as the content material!
You can see similar here najlepszy sklep