Alami Resesi Seks, Korsel Jadi Negara yang Kesuburannya Terendah di Dunia

0
155
Kaum muda Korsel saat ini disebut-sebut sebagai "generasi sampo." Istilah tersebut merujuk pada generasi yang telah menyerah atas tiga hal, yakni berkencan, menikah, dan punya anak. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Korea Selatan (Korsel) memecahkan rekor sebagai negara dengan angka kesuburan terendah di dunia pada Rabu (24/8). Laporan ini muncul saat sejumlah negara mendeteksi fenomena resesi seks.

Beberapa tahun belakangan, berbagai media menggunakan istilah resesi seks untuk menggambarkan penurunan aktivitas seksual karena tekanan hidup yang kian tinggi.

Korsel memang sudah mengalami masalah reproduksi selama bertahun-tahun. Puncaknya, berdasarkan data pemerintah Korsel, tingkat kesuburan di negara itu turun 0,03 persen menjadi 0,81 persen pada tahun 2021. Angka tersebut didapat dari jumlah kelahiran per pasangan dibandingkan dengan keseluruhan populasi.

Seperti yang sudah diketahui bersama, untuk menjaga kestabilan populasi, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1 persen. Angka kelahiran di Korsel sendiri sudah terpantau semakin turun sejak tahun 2015. Tren penurunan itu terus terjadi di tahun-tahun selanjutnya.

Pada tahun 2020, negara itu bahkan mencatat lebih banyak kematian ketimbang kelahiran untuk pertama kalinya. Ini membuat jumlah penduduk di Korsel menyusut.

Belakangan, perempuan Korsel juga memutuskan memiliki anak saat usia tua. Rata-rata umur perempuan Korsel yang melahirkan pada tahun 2021 adalah 33,4 tahun.

BACA JUGA :  Kejagung Diminta Selidiki Dugaan Penyimpangan Anggaran Pemeliharaan Radar BMKG

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab angka kelahiran di Korsel berkurang, mulai dari budaya kerja, upah stagnan, kenaikan biaya hidup, dan kenaikan harga rumah.

Kebanyakan perempuan di Korsel mengatakan mereka tidak memiliki waktu, uang, dan kapasitas emosional untuk berkencan.

The Conversation melaporkan, masyarakat muda Korsel saat ini disebut-sebut sebagai “generasi sampo.” Istilah tersebut merujuk pada generasi yang telah menyerah atas tiga hal, yakni berkencan, menikah, dan punya anak.

Asisten Profesor Sosiologi di Universitas British Columbia, Yue Qian, menuturkan bahwa 40 persen masyarakat Korsel yang berumur 20-an hingga 30-an tahun telah berhenti berkencan. Menurut Yue, pernikahan dan kencan sudah tidak lagi menjadi prioritas, salah satunya karena bagi perempuan Korsel, mereka mengemban tanggung jawab yang lebih banyak atas urusan rumah.

Riset Yue pada tahun 2006 melihat 46 persen perempuan Korsel yang menikah pada usia 25-54 tahun mengemban 80 persen pekerjaan rumah. Suami mereka hanya melakukan pekerjaan rumah kurang dari 20 persen.

Tak hanya itu, alasan lain generasi muda Korsel tak mau lagi berkencan, menikah, dan membesarkan anak adalah karena kesulitan finansial. Banyak generasi muda Korsel yang bekerja tanpa kontrak tetap, bayaran rendah, dan sedikit jaminan pendapatan. Korsel juga memiliki budaya jam kerja yang panjang.

BACA JUGA :  Wagub Riza Patria Dinilai Punya Kans Besar untuk Posisi Gubernur DKI Jakarta di 2024

Pemerintah Korsel sendiri telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi angka kesuburan yang menurun. Salah satu kebijakannya adalah mengizinkan pasangan mengambil cuti di waktu yang sama, serta memperpanjang masa cuti berbayar untuk ayah.

Pemerintah Korsel juga mengurangi jumlah jam kerja per pekan, dari 68 jam menjadi hanya 52 jam, dengan harapan warga Korsel dapat memiliki kehidupan pribadi setelah bekerja. (BD)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini