
RADAR TANGSEL RATAS – Setiap tahun, para buruh industri hasil tembakau (IHT) selalu dibayangi kekhawatiran terhadap rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT), terutama untuk segmen sigaret kretek tangan (SKT).
Para pekerja IHT khawatir dampak kenaikan cukai akan memaksa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga menciptakan pengangguran.
Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM SPSI) Jawa Timur, Purnomo, menyatakan bahwa seluruh pekerja IHT kini khawatir terhadap rencana kenaikan CHT yang sudah jauh-jauh hari diwacanakan pemerintah.
“Seluruh pekerja sudah ketar-ketir kalau cukai naik akan ada efisiensi,” ungkapnya, seperti yang dirilis Liputan6.com (5/9).
Purnomo mengatakan dalam rangka melindungi para pekerja, pihaknya berharap pemerintah tidak menaikkan CHT pada tahun 2023 nanti.
Tak hanya para pekerja, pemerintah daerah, baik bupati maupun gubernur yang wilayahnya masih mengandalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan penyerapan tenaga kerja dari industri rokok, juga turut khawatir.
Menurutnya, semua bupati di wilayah Jawa Timur yang PAD-nya banyak berasal dari rokok merekomendasikan agar tidak ada kenaikan cukai tahun depan.
FSP-RTMM bahkan telah mengirimkan surat kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk turut menyuarakan kekhawatiran pekerja industri rokok. Saat ini industri rokok di Jawa Timur dari hulu ke hilir berkontribusi nyaris 30 persen dari PDB Jawa Timur.
“Untuk SKT (sigaret kretek tangan) jelas kami tolak kenaikan cukainya, kembalikan ke nol persen saja. Untuk rokok mesin silakan cukainya naik asal tidak melebihi inflasi,” kata Purnomo.
Akademisi IPB, Prima Ghandi, mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan kehidupan pekerja SKT sebelum memutuskan kebijakan kenaikan cukai segmen tersebut.
Menurut Prima, untuk melindungi para pekerja dari jeratan PHK di tengah situasi ekonomi saat ini, maka kenaikan cukai SKT tidak perlu dilakukan. “Perlu ada riset sosial ekonomi terkait pekerja pelinting,” katanya, Kamis (1/9).
Apalagi, kata Prima, mayoritas pekerja pelinting merupakan perempuan dengan masa kerja panjang dan tidak memiliki pendidikan formal. “Kenaikan cukai SKT dapat menimbulkan krisis sosial apabila perusahaan memutuskan mengurangi pekerja. Pekerja itu adalah salah satu faktor produksi,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memberi sinyal akan menaikan tarif CHT atau cukai rokok di tahun 2023.
Sinyal kenaikan itu semakin diperkuat oleh target pendapatan cukai dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang dipatok lebih tinggi dari tahun ini.
Pada 2023, target penerimaan cukai diasumsikan negara sebesar Rp 245,45 triliun atau tumbuh 9,5 persen dari outlook penerimaan tahun ini yang sebesar Rp 224,2 triliun. (BD)
