
RADAR TANGSEL RATAS – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi soal pembebasan bersyarat 23 napi koruptor yang menjadi sorotan publik. Dia mengatakan bahwa remisi ataupun pembebasan bersyarat merupakan urusan pengadilan, sehingga pemerintah tak boleh ikut campur.
“Begini ya, kalau pemerintah itu tidak boleh ikut campur ya, urusan pembebasan itu pengadilan. Remisi, dikurangi dan lain-lain itu kan pengadilan yang menentukan. Dibebaskan, dikurangi hukumannya, dan sebagainya,” tuturnya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (8/9).
Mahfud menilai mekanisme pembebasan bersyarat secara formal, sudah memenuhi syarat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah hanya bertugas membawa koruptor ke pengadilan dengan bukti-bukti yang kuat.
Setelah itu, pemerintah menyerahkan kepada pengadilan terkait hukuman yang layak bagi koruptor. Mahfud menuturkan pemerintah tak bisa lagi ikut campur terkait hukuman yang diberikan hakim untuk koruptor.
“Anda semua harus tahu pemerintah itu kan ndak boleh ikut masuk ke urusan hakim ya. Kalau urusan hukuman dan membebaskan itu ya. Kita membawanya ke pengadilan dengan bukti-bukti yang kuat,” katanya.
Sebelumnya, sebanyak 23 narapidana kasus korupsi bebas dari penjara pada Selasa 6 September 2022 kemarin. Para koruptor itu menghirup udara bebas setelah menerima program pembebasan bersyarat (PB) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
“Adapun narapidana tindak pidana korupsi yang telah diterbitkan SK PB-nya dan langsung dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022,” kata Kabag Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham Rika Apriyanti dalam keterangannya, Rabu (7/9).
Rika menjelaskan, sepanjang Januari 2022 hingga September 2022, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham telah menerbitkan 58.054 SK PB/CB/CMB Narapidana semua kasus tindak pidana di seluruh Indonesia.
“Pada September 2022 terdapat sebanyak 1.368 orang narapidana. Semua kasus tindak pidana dari seluruh Indonesia yang mendapat pembebasan bersyarat, termasuk 23 koruptor,” ungkapnya.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal memperberat tuntutan yang dilayangkan terhadap terdakwa kasus korupsi. Keputusan ini bakal diambil sebagai buntut dari banyaknya narapidana kasus korupsi alias koruptor yang menerima program pembebasan bersyarat (PB).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwat mengatakan ke depan nanti pihaknya akan menambahkan tuntutan hukum bagi terdakwa korupsi yang tidak kooperatif. “Kalau itu pejabat publik, yaitu tadi mencabut hak dipilihnya supaya terdakwa tidak mendapatkan haknya selaku terpidana,” tuturnya, Rabu, (7/9).
Menurut Alex, yang memiliki kewenangan dalam memberikan hak pembebasan bersyarat memang bukan pihak lembaga antirasuah. Meski demikin tim jaksa KPK bisa menuntut agar hakim mencabut hak para koruptor sebagai narapidana.
“Prinsipnya, pembebasan bersyarat dan remisi itu hak narapidana. Bisa enggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum),” ungkap Alex.
Alex mengatakan, regulasi dalam PB bersyarat kali ini berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya KPK dilibatkan sebelum memberikan PB kepada koruptor, tapi kini tidak dilibatkan lagi lantaran putusan Mahkamah Agung (MA). (BD)