RADAR TANGSEL RATAS – PBB menyorot data terbaru bahwa sekitar 50 juta orang hidup dalam perbudakan modern di tahun 2021. Angka itu termasuk 22 juta orang yang hidup dalam pernikahan paksa.
Data itu berdasarkan laporan Global Estimates of Modern Slavery yang dirilis oleh International Labour Organization (ILO), International Organization for Migration (IOM), dan grup HAM yang melawan perbudakan modern: Walk Free.
Dirjen ILO, Guy Ryder, mengaku kaget atas situasi yang telah terjadi tersebut. “Tidak ada yang bisa menjustifikasi pelanggaran HAM fundamental yang persisten ini,” ujarnya seperti yang dirilis UN News, Selasa (13/9).
Jika dibandingkan dengan fenomena di tahun 2016, maka angka di tahun 2021 tadi menunjukkan kenaikan 10 juta orang. Mayoritas korban perbudakan modern adalah wanita dan anak-anak.
Perbudakan modern disebut terjadi di hampir seluruh dunia, serta di berbagai etnis, budaya, dan agama. Setengah dari kerja paksa dan seperempat kasus pernikahan paksa juga terjadi di negara-negara berpendapatan menengah hingga tinggi.
Menurut data yang dihimpun, sebanyak 86 persen kasus kerja paksa terjadi di sektor swasta. Lalu, sebanyak 23 persen terjadi dalam bentuk eksploitasi seksual dan mayoritas korbannya adalah perempuan.
Sementara, kerja paksa yang dilakukan oleh negara mencapai 14 persen. Lalu, sebanyak 3,3 juta korbannya adalah anak-anak, dan mereka juga dieksploitasi secara seksual.
Menurut Ryder, butuh kebijakan nasional yang fundamental untuk melawan perbudakan modern ini. Tapi, pihak swasta diminta ikut turun tangan. “Serikat dagang, organisasi pemberi kerja, rakyat sipil, dan masyarakat, semuanya bisa punya peran kritis untuk dimainkan,” ujar pejabat ILO itu.
Pada tahun 2021 lalu, orang yang hidup dalam pernikahan paksa diestimasi mencapai 22 juta. Angka itu naik 6,6 juta dari estimasi di tahun 2016.
Angka sebenarnya dari pernikahan paksa diprediksi lebih tinggi dari estimasi karena ada bentuk pernikahan paksa yang tidak masuk spesifikasi laporan. Pernikahan paksa di konteks ini mengacu pada anak di bawah umur yang tak bisa memberikan consent secara legal.
Pihak PBB menjelaskan bahwa pernikahan anak sangatlah tergantung konteks, karena terkait attitude dan praktik patriarkal.
Pada laporan Global Estimates of Modern Slavery, ada 85 persen pernikahan paksa yang diakibatkan tekanan keluarga. Lalu, berdasarkan ukuran populasi wilayah, sebanyak 6 persen pernikahan paksa terjadi di Asia dan Paifik.
Negara-negara Arab menjadi objek sorotan karena tingginya pernikahan paksa, yakni 4,8 dari 1.000 orang di kawasan harus menjalani pernikahan paksa.
Solusi yang diajukan PBB untuk melawan atau mengantisipaslsi kejahatan berupa kerja paksa dan pernikahan paksa adalah memperkuat proteksi sosial dan hukum, serta meningkatkan usia legal pernikahan menjadi 18 tahun.
Langkah-langkah lainnya adalah mempromosikan rekrutmen yang adil dan etnis, serta memberikan dukungan yang lebih kuat bagi wanita, anak perempuan, dan individu-individu rentan. (BD)