Polemik Pasal 7 UUD 1945, Mantan Ketua MK: Jokowi Tak Bisa Jadi Cawapres

0
68
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddhiqie menekankan bahwa dari segi hukum maupun etika, presiden yang sudah menjabat dua periode tak bisa menjadi cawapres, karena presiden dan wakil presiden merupakan satu paket. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddhiqie mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden (cawapres). Sesuai UUD 1945, kata dia, seorang presiden hanya bisa menjabat selama dua periode.

“Sesudahnya tidak boleh lagi, termasuk jadi wapres. Jika setelah dilantik, presiden meninggal, wapres langsung naik jadi presiden,” kata Jimly, dikutip dari akun twitter-nya, Kamis (15/9)

Menurut Jimly, dari segi hukum maupun etika, presiden yang sudah menjabat dua periode tak bisa menjadi cawapres, karena presiden dan wakil presiden merupakan satu paket.

Dalam Pasal 7 UUD 1945, kata Jimly, dijelaskan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sementara itu, Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 berbunyi: jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya

BACA JUGA :  HUT Ke-9 Undang-Undang Desa di GBK, Para Kades Minta Alokasi 10% APBN untuk Dana Desa

“Jika Jokowi jadi wapres 2024, maka Pasal 8 ayat (1) UUD 45 tidak akan dapat dilaksanakan karena akan bertentangan dengan Pasal 7. Makanya, tidak ada tafsir lain yang mungkin kecuali bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024 nanti,” tandas Jimly.

“Maka membaca Pasal 7 UUD harus sistematis dan kontekstual, jangan cuma titik koma. Intinya, Presiden Jokowi tidak bisa nyalon lagi. Titik!” ia menambahkan.

Jimly juga menjelaskan bahwa yang diperbolehkan UUD 1945 adalah apabila wapres mencalonkan diri menjadi calon presiden. Sebab, bukan jabatan yang sama dan sebagai penerus dan pengganti.

“Tapi mantan presiden dua kali mau jadi cawapres tidak boleh, karena jika terjadi kekosongan seperti meninggal, wapres harus naik jadi presiden yang tidak boleh lagi ia jabat,” ungkap Jimly.

Dia pun mengkritik juru bicara MK, Fajar Laksono, yang menjadi orang pertama pelontar pernyataan tersebut. Jimly mengingatkan bahwa staf pengadilan dilarang berbicara soal substansi.

“Statement Humas MK bukan putusan resmi MK, jangan jadi rujukan. Staf pengadilan dilarang bicara substansi,” ujar Jimly. (BD)

BACA JUGA :  Ajang Memperkenalkan Pariwisata Saudi dan Indonesia, Arminareka Perdana Gelar Harmony of Tradition

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini