RADAR TANGSEL RATAS – Pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, berbagai pendapat bernada penolakan segera bermunculan.
Salah satu suara penolakan bergaung dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia. Bahkan Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri pun langsung meminta DPR menolak Perppu Ciptaker tersebut.
Dikutip dari Detik.com (1/1/2023), Gita mengatakan pemerintah telah membuat alasan yang mengada-ada soal penerbitan Perppu ini.
Gita menilai, pemerintah yang menganggap kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum, adalah pernyataan yang tidak berdasar dan logikanya patut dipertanyakan logikanya.
Sebab, kata Gita, MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan proses pembentukan UU Ciptaker harus diulang dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna.
“Penerbitan Perppu adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini,” tutur Gita kepada wartawan, Sabtu (31/12), dikutip dari Detik.com.
Gita juga mengatakan penerbitan Perppu Ciptaker merupakan bukti pemerintah tidak menjadikan publik sebagai mitra dalam penyusunan produk legislasi. Bahkan ia menuding penerbitan perppu itu menunjukkan pemerintah dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum.
“Terlihat bahwa ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak dalam proses legislasi. Contohnya bisa dilihat dari penyusunan Omnibus Cipta Kerja di tahun 2019 hingga KUHP di tahun 2022. Hanya mereka yang memiliki kepentingan sama dengan pemerintah yang mendapat karpet merah mendapat panggung untuk didengar. Namun kelompok buruh, kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok minoritas seksual, serta kelompok masyarakat rentan lainnya justru terdiskriminasi dengan tidak mendapat ruang dan pelibatan secara aktif dalam penyusunan produk hukum tersebut,” paparnya.
Selain itu, Gita juga menilai ada ketidakjelasan soal kedaruratan untuk membuat Perppu. Menurutnya, tak ada kekosongan hukum yang terjadi usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi UU Ciptaker.
Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang UU Omnibus Cipta Kerja tersebut, kata Gita, malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan keluarnya Perppu ini.
“Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik. Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala masif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN,” urainya.
Dia menganggap pemerintah abai terhadap partisipasi publik. Dia juga menuding Perppu Ciptaker sebagai wujud ruang gelap legislasi karena dokumen Perppu Ciptaker belum dipublikasi.
Lebih lanjut, Gita pun meminta DPR menolak Perppu Cipta Kerja itu karena telah mengabaikan putusan MK.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia menilai kondisi mendesak yang disebut Presiden Jokowi itu bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023.
“Pertama, kondisi darurat dalam Perppu UU Cipta Kerja bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen cenderung tinggi,” kata Bhima, dikutip dari suara.com, Minggu (1/1/2022).
Menurut Bhima, kalau ekonomi masih tumbuh positif kenapa pemerintah menerbitkan perppu tersebut.
Sementara alasan kedua menurut dia, kehadiran perppu itu justru menciptakan ketidakpastian kebijakan. “Masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi, investor bisa ragu kalau aturan berubah-ubah,” ungkapnya.
Padahal, kata Bhima, investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Idealnya pada saat pembuatan produk, regulasi apalagi UU harus disiapkan secara matang. “Kalau terburu buru ya jadi masalah,” katanya.
Ketiga, Bhima melanjutkan, tidak ada jaminan pasca perppu investasi bisa meningkat, karena sejauh ini banyak aturan turunan cipta kerja sudah berjalan tapi jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi. (BD)