Lima Negara ASEAN Usulkan Busana Kebaya ke Intangible Cultural Heritage UNESCO

0
65
Di zaman penjajahan dulu, kebaya yang dipadukan dengan bawahan kain batik, songket, atau tenun, merupakan busana harian kaum perempuan Indonesia. Penggunaan kebaya bukan hanya sebagai fesyen semata, melainkan juga sebagai identitas bangsa di mata penjajah. Bahkan, perempuan bangsa Eropa turut mengganti pakaian mereka dengan kebaya sebagai cara beradaptasi dengan warga setempat. (foto: gpmpi/PIS)

RADAR TANGSEL RATAS – Lima negara di Asia Tenggara yang mengenal kebaya sebagai busana tradisional perempuan, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, membentuk hubungan budaya bersama (shared culture).

Untuk itu, lima negara tersebut secara bersama-sama menyepakati mengusulkan kebaya ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage (ICH) The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Dikutip dari infopublik.id (8/2/2023), Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid, pada Selasa (7/2/2023) menuturkan bahwa proses pengusulan dimulai ketika Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Sri Ismail Sabri bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, pada 2021. Pertemuan itu membicarakan berbagai peluang kerja sama di berbagai bidang, salah satunya adalah bidang kebudayaan.

“Termasuk membicarakan terkait pengusulan bersama bagi beberapa warisan budaya takbenda yang memiliki sejarah shared culture, salah satunya kebaya. Setelah berdiskusi kemudian disepakati mengajak negara anggota ASEAN lain yang juga memiliki tradisi kebaya untuk bergabung dalam nominasi bersama kebaya,” kata Hilmar, seperti dikutip dalam rilis Kemendikbudristek di Jakarta, Rabu (8/2/2023).

BACA JUGA :  Keren! Indonesia Menjadi Contoh Transformasi Pendidikan Menggunakan Intervensi Teknologi

Hilmar juga menjelaskan, pengusulan itu dilakukan melalui mekanisme nominasi bersama (joint nomination). Mekanisme tersebut dikembangkan oleh UNESCO pada tahun 2008 sebagai salah satu upaya untuk merealisasikan tujuan Konvensi UNESCO 2003 (Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage).

Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghormati keragaman budaya, serta memberikan pengakuan yang semestinya terhadap praktik dan ekspresi komunitas di seluruh dunia dalam upaya pelindungan warisan budaya tak benda.

Adanya mekanisme nominasi bersama, Hilmar menegaskan bahwa penetapan elemen budaya ke dalam daftar ICH bukanlah pengakuan terhadap suatu negara atas hak paten atau hak kekayaan intelektual warisan budaya, melainkan kontribusi negara pihak (pengusul) dalam mempromosikan keberagaman budaya dan mendorong dialog antar komunitas.

“Dengan semangat demikian, diharapkan dapat mendorong terwujudnya perdamaian internasional,” tutur Hilmar.

Pengusulan Kebaya melalui nominasi bersama, lanjut Hilmar, menjadi momentum dalam memperkuat persatuan dan solidaritas regional ASEAN.

Sebagai informasi, pada tahun 2000, negara-negara anggota ASEAN mencetuskan Declaration on Cultural Heritage yang berkomitmen memajukan pelindungan dan promosi warisan budaya. Upaya pemajuan ini dilakukan dengan mengembangkan perspektif ASEAN berdasarkan elaborasi terhadap hubungan sejarah, warisan budaya, dan identitas regional yang dimiliki bersama.

BACA JUGA :  Tahun Ini, Indonesia AirAsia Siap 'Lepas Landas' Kembangkan Industri Pariwisata di Indonesia

“Perspektif tersebut menjadi kerangka kerja sama ASEAN dalam upaya pembangunan nasional dan regional di bidang sosial, budaya, dan ekonomi,” ujar Hilmar.

Menindaklanjuti proses nominasi bersama, pemerintah melalui Kemendikbudristek akan menyelenggarakan kegiatan Workshop Pengusulan Kebaya Sebagai Nominasi Bersama 2023 di Jakarta. Tujuan kegiatan ini untuk mempererat hubungan kerja sama di bidang kebudayaan di antara negara ASEAN melalui pengisian bersama naskah nominasi Kebaya.

Kegiatan ini juga dapat menjadi bagian dari momentum Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 untuk memainkan peran penting dalam memperkuat kolaborasi di antara negara-negara anggota ASEAN dan mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan kawasan.

Penyelenggaraan workshop, Hilmar berharap dapat memberikan gambaran bagi komunitas di dalam negeri mengenai tujuan ICH UNESCO.

“Sehingga tidak lagi terjadi kesalahpahaman yang menganggap bahwa ICH UNESCO adalah pengakuan terhadap asal-usul suatu Warisan Budaya Takbenda atau pengakuan terhadap hak paten/hak kekayaan intelektual, melainkan untuk secara harmonis melindungi warisan budaya bersama tersebut,” pungkas Hilmar. (BD)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini