
RADAR TANGSEL RATAS – Wacana agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dipisahkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai digemakan kembali. Kali ini suara tersebut diwacanakan Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad. Usulan tersebut didasarkan pada berbagai fenomena serius yang dihadapi dunia perpajakan nasional.
Seperti yang dilansir mpr.go.id (17/3/2023), Fadel mengatakan dasar pemikiran pemisahan DJP dari Kemenkeu salah satunya datang dari fenomena dunia perpajakan nasional yang sedang mendapat cobaan serius, yakni terungkapnya kasus sejumlah aparatur negara bidang perpajakan yang menimbun kekayaan tidak wajar, hingga menimbulkan kecurigaan adanya malapraktik dalam sistem perpajakan.
Yang lebih mengejutkan, kata Fadel, bahkan Menko Polhukam Mahfud MD menyebut ada transaksi janggal senilai Rp 300 triliun di Kemenkeu. Transaksi itu melibatkan lebih dari 460 pegawainya dalam periode 2009-2023 dan sebagian besar dilakukan oleh pegawai DJP.
“Kita akan tunggu kelanjutan penelusuran transaksi mencurigakan dengan nilai yang fantastis itu. Yang mengkhawatirkan adalah, akibat kasus-kasus tersebut, ditengah masyarakat ramai muncul imbauan agar tidak membayar pajak,” ujar Fadel Muhammad, saat memberikan keterangan persnya kepada wartawan, di Ruang Rapat Pimpinan MPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Pertanyaan besarnya, lanjut Fadel Muhammad, adalah mengapa bisa terjadi hal seperti itu. “Apakah hierarki organisasi di Kemenkeu yang menyangkut DJP kurang ideal? Perlukan DJP dipisahkan dari Kemenkeu karena DJP memiliki beban pekerjaan yang besar sehingga pantas naik kelas menjadi lembaga setingkat menteri?” tuturnya.
Fadel pun mengaku pernah mempraktikan pemisahan tersebut tapi dalam skala yang lebih kecil. “Saya sempat mempraktikkan ide pemisahan itu dalam skala kecil ketika menjadi Gubernur Provinsi Gorontalo, dengan menarik biro keuangan yang semula berada di Sekretaris Daerah menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur dengan nama Badan Keuangan Daerah,” ungkapnya.
Fadel juga mengungkapkan pernah mendorong pemisahan tersebut agar diberlakukan secara nasional. Hal itu ia akukan saat dirinya terpilih menjadi Ketua Komisi XI DPR RI pada periode 2014-2015.
“Pada saat itu, saya termasuk yang ikut mendorong agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu, membentuk lembaga baru yang bernama Badan Keuangan Negara yang bertugas untuk menghimpun pajak sebagai pengganti atau perubahan nama dari DJP. Badan ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” katanya.
Ia mengemukakan, di tengah berbagai sorotan kecurigaan malapraktik sistem perpajakan dan temuan transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di Kemenkeu, Fadel menilai sudah saatnya wacana pemisahan DJP dari Kemenkeu dipikirkan secara serius.
Meski begitu, Fadel mengingatkan, pemisahan DJP dari Kemenkeu membutuhkan kajian mendalam terkait beberapa hal, termasuk apakah lembaga tersebut bersifat otonom atau semi-otonom.
Selain itu, ia menyampaikan bahwa praktik pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangan sudah dilakukan oleh banyak negara, seperti Amerika Serikat dan Singapura.
“Amerika Serikat, misalnya, lembaga pajaknya yang bernama Internal Revenue Service (IRS) merupakan lembaga otonom yang terpisah dari Kementerian Keuangan,” katanya.
Sementara otoritas pajak Singapura, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) merupakan lembaga bersifat semi-otonom. Meskipun tidak berada di bawah kementerian keuangan, IRAS mendapat supervisi dari dewan pengawas yang diketuai oleh Menteri Keuangan Singapura.
Fadel menambahkan, selain pengalaman kedua negara, beberapa negara berkembang juga telah melakukan transformasi otoritas perpajakan dari konsep tradisional di bawah kementerian keuangan menjadi lembaga semi-otonom. (BD)