RADAR TANGSEL RATAS – Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan evaluasi terhadap industri yang mendapat insentif harga gas murah sebesar USD 6 per MMBTU. Hal ini untuk memberikan pemerataan bagi industri yang membutuhkan.
Seperti yang dilansir Liputan6.com (13/4/2023), Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Tutuka Ariadji, mengatakan kebijakan harga gas murah yang tertuang dalam Perpres 121 Tahun 2020 bertujuan untuk membantu industri yang perlu dibantu.
Jika ada industri yang sudah membaik dibandingkan sebelumnya, kata Tutuka, maka perlu dievaluasi dan digantikan dengan sektor industri baru yang masih lemah. “Insentif gas murah untuk industri bersifat sementara,” ujar Tutuka di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Tutuka mengungkapkan, pemerintah akan melakukan evaluasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) dengan merevisi keputusan Menteri ESDM 134 Tahun 2021.
Evaluasi tersebut, menurut Tutuka, nantinya mencakup beberapa hal terkait pelaksanaan kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU untuk tujuh golongan industri, seperti kenaikan penyerapan tenaga kerja dan setoran pajak bagi negara.
“Kita supaya ada landasan evaluasi namanya ada kepmen 134 dan itu cukup lengkap, di situ ada produktivitas penghematan dan sebagainya,” tutur Tutuka.
Tutuka juga menjelaskan, harga gas USD6 per MMBTU berdampak pada kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun dari bagi hasil produksi migas.
“Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau 12,93 triliun tahun 2022,” ungkap Tutuka.
Menurutnya, penerimaan negara dari bagi hasil migas dikorbankan agar harga gas bisa diturunkan menjadi USD 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri tersebut. “Penerimaan negara itu yang dikurangi. Kalau nggak, harga gasnya bisa lebih dari USD 6,” tandas Tutuka. (BD)