RADAR TANGSEL RATAS – Di Jepang, saat ini hampir sepertiga populasi terdiri dari orang berusia 65 tahun ke atas. Negara ini juga memiliki salah satu harapan hidup tertinggi di dunia. Pada 2022, hampir satu dari 1.500 orang Jepang berusia setidaknya 100 tahun, dibandingkan dengan sekitar satu per 5.000 orang secara global.
Berdasarkan angka-angka tersebut, wajar jika para lansia akan mudah ditemukan di setiap di rumah di sana.
Meski demikian, kehidupan para lansia di Jepang bisa dibilang cukup memilukan. Para lansia yang tidak produktif secara ekonomi di Jepang dihadapkan dengan tingginya tuntutan hidup.
Mahalnya biaya tinggal, tingginya biaya layanan kesehatan, dan terjerat kesepian akibat ditinggal keluarga, akhirnya membuat para lansia di sana stres. Karena kembali bekerja dan menghamba pada pemerintah tidak lagi mungkin, maka satu-satunya cara terbaik adalah berbuat kriminal dengan tujuan masuk penjara.
Menurut laporan pemerintah, pada 2021 yang dikutip The Economist, jumlah pelaku kriminal di atas usia 65 tahun telah meningkat lebih dari dua kali lipat selama 20 tahun terakhir. Secara persentase, sebagaimana dilaporkan Reuters, jumlah tersebut sebetulnya mengalami peningkatan 7% dari satu dekade sebelumnya.
Di tahun 2006 misalnya, The Guardian melaporkan bahwa tahanan berusia 60 tahun ke atas berjumlah 28.892 orang atau 12% dari keseluruhan tahanan berjumlah 80.000. Angka itu meningkat drastis dari tahun 2000 yang hanya 9.478 orang.
Menurut BBC International, para lansia menganggap penjara adalah tempat menyambung hidup terbaik. Pasalnya, di balik jeruji besi, mereka bisa memperoleh tempat tinggal, mendapat layanan kesehatan 24 jam, dan terpenting, kebutuhan hidup dasar dapat terpenuhi. Meskipun tidak mendapat kebebasan, tapi selama di dalam penjara, mereka dijamin pemerintah.
Hal yang mencengangkan lagi, ternyata mayoritas tahanan lansia di Jepang adalah perempuan. Kantor berita NHK menulis, mayoritas kasus para nenek itu 90% adalah pencurian. Mereka secara sukarela masuk penjara karena kesepian karena ditinggal keluarga atau akibat bercerai.
Para perempuan lansia di penjara-penjara Jepang mengaku tak lagi kesepian. Mereka bisa ngobrol bareng tahanan lain, melakukan kegiatan keterampilan, dan mendapat pengobatan fisioterapi secara gratis.
Berdasarkan laporan The Economist, Jepang awalnya cukup keras terhadap narapidana. Tapi karena beberapa tahun terakhir mayoritas diisi tahanan lansia, maka pemerintah pun melunak. Pemerintah Jepang kemudian menjadikan penjara sebagai tempat rehabilitasi.
Masalah pun kembali muncul. Dengan pola pikir “penjara membawa kesejahteraan”, para lansia malah betah dan menganggap penjara sebagai panti jompo. Akibatnya, pandangan bahwa “penjara membawa kebahagiaan” pun sulit dihilangkan.
Peneliti Universitas Kokugakuin, Yasuda Megumi, menyebut langkah pemerintah Jepang merehabilitas tahanan adalah langkah yang baik. Tapi yang harus diperkuat adalah soal jaring pengaman, misalnya melakukan reformasi hukum untuk membatasi penahanan lansia atau menawarkan amnesti.
Dalam riset “When the Elderly Turn to Petty Crime: Increasing Elderly Arrest Rates in an Aging Population,” Naomi F. Sugie menjelaskan bahwa persoalan lansia di Jepang itu membutuhkan solusi berupa integrasi kehidupan sosial yang jelas antara masyarakat Jepang.
Salah satu contohnya, kata Naomi, pemerintah melakukan peningkatan potongan gaji bulanan saat usia produktif untuk dana pensiun lebih besar di masa depan.
Lalu, masyarakat pun harus mulai mengubah pola pikir tentang keluarga. Misalnya menghilangkan kebiasaan tidak ingin memiliki anak, atau tak lagi memilih hidup sendirian sekalipun punya keluarga. (BD)