
RADAR TANGSEL RATAS – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sangat memperhatikan kondisi perekonomian China yang kini semakin melemah. Menurutnya, pelemahan ekonomi Negeri Tirai Bambu itu akan memberi dampak terhadap ekonomi Tanah Air dari banyak jalur. Mulai dari sisi perdagangan hingga investasi.
“Kita lihat semuanya bergerak dari sisi tadi, terutama ekspor dan FDI (Foreign Direct Investment) yang harus kita jaga,” ujar Sri Mulyani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (8/6/2023), dikutip dari cnbcindonesia.com.
Karena itu, ia menuturkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri juga tentu akan terpengaruh. Ia memperkirakan, batas bawah asumsi pertumbuhan ekonomi bergeser dari semula 5,3% menjadi 5,1%.
“Ya itu tadi saya sampaikan kita tetap mewaspadai perkembangan yang terjadi yang memengaruhi dinamikan dari ekonomi global ke nasional,” tutur Sri Mulyani.
Bank Dunia atau World Bank dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2023 memperkirakan ekonomi China hanya akan mengalami pemulihan pada 2023, setelah terhantam dampak Pandemi Covid-19 pada 2022. Setelahnya pertumbuhannya akan jatuh hingga tahun 2025.
Proyeksi terbaru pertumbuhan untuk 2023 dari Bank Dunia sebesar 5,6% naik dari estimasi 2022 sebesar 3%, dan proyeksi ini mengalami revisi ke atas sebesar 1,3% dari perkiraan pada Januari 2023.
Perkiraan ini ditopang oleh estimasi dampak baik dari pembukaan kembali aktivitas ekonomi China setelah pengetatan selama Pandemi Covid-19. Hal itu membuat belanja konsumen naik dan investasi bangunan turut terkerek naik terutama dari sisi infrastruktur.
Tapi, pada tahun 2024, perekonomian China Bank Dunia perkirakan malah akan melemah menjadi hanya tumbuh 4,6% dan merupakan hasil revisi ke bawah sebesar minus 0,4% dari proyeksi yang dilakukan pada Januari 2023. Pada 2025 pun pelemahan masih berlanjut menjadi 4,4%.
“Dampak dari kebijakan pembukaan kembali ekonomi memudah pada paruh kedua tahun ini, dan pertumbuhan akan melambat pada 2024 karena konsumsi yang moderat seiring belum pulihnya ekspor,” kata Bank Dunia.
Risiko berlanjutnya penurunan pertumbuhan ekonomi China, menurut Bank Dunia, terutama disebabkan oleh berlanjutnya tekanan di sektor real estate, perlambatan pertumbuhan dan perdagangan global yang lebih tajam dari yang diperkirakan, dan kemungkinan gelombang Covid-19 yang mengganggu.
Berdasarkan data Bea dan Xukai China yang dirilis pada Rabu (7/6/2023), ekspor Negeri Tirai Bambu itu juga sudah turun 7,5% secara tahunan sepanjang Mei. Senada dengan ekspor, realisasi impor juga turun 4,5% secara tahunan.
Hasil tersebut membuahkan tanda tanya besar terkait pemulihan ekonomi negara tersebut yang belum lama ini mencabut kontrol ketat terkait Covid-19. Pasalnya, lemahnya kinerja perdagangan juga menggambarkan permintaan global yang melemah di tengah tekanan suku bunga yang masih tinggi.
Ekspor turun menjadi US$ 283,5 miliar, berbalik dari pertumbuhan kuat 8,5% yang tak terduga pada April. Impor turun menjadi US$ 217,7 miliar, cenderung moderat dari kontraksi 7,9% pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, surplus perdagangan global China menyempit sebesar 16,1% menjadi US$ 65,8 miliar pada Mei.
Pelemahan perdagangan menambah tekanan ke bawah pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu menyusul aktivitas pabrik dan konsumen yang lesu serta lonjakan pengangguran di kalangan kaum muda.
“Ekspor China akan tetap lemah karena kami mengantisipasi ekonomi AS memasuki resesi,” kata Lloyd Chan dari Oxford Economics dalam sebuah laporan, dikutip dari Associated Press, Rabu (7/6/2023).