RADAR TANGSEL RATAS – Kementerian PPN/Bappenas menyatakan negara akan mengalokasikan dana sebesar Rp 210 miliar untuk pembuatan atau prototyping hingga sertifikasi internasional pesawat amphibi N219.
Informasi tersebut disampaikan langsung oleh Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (19/6/2023).
Menurut Amalia, anggaran bidang Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas tahun depan mencapai Rp 246,8 miliar, di mana 85% atau sebesar Rp 210 miliar akan dialokasikan untuk pembuatan hingga sertifikasi internasional pesawat amphibi N219.
“Pagu indikatif Rp 246,8 miliar, dan Rp 210 miliar akan fokus untuk pengembangan N219 dan ini merupakan yang akan dihibahkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI),” tutur Amalia.
Anggaran pengembangan pesawat amphibi N219 yang sebesar Rp 210 miliar tersebut, kata Amalia, diperuntukkan bagi prototyping hingga sertifikasi berstandar internasional, sehingga nantinya bisa dikomersialisasi.
Amalia juga menjelaskan, pengembangan pesawat amphibi N219 buatan PT DI itu sekaligus menjadi pilot project atau proyek pertama kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha.
“Ini adalah pilot project untuk mengkonkretkan kolaborasi triple helix antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha,” ujarnya.
Proses pembuatan pesawat N219, kata Amalia, saat ini masih dalam pembuatan floating kit, agar nanti dapat diintegrasikan dengan N219.
Sebelumnya, sertifikasi pesawat amphibi N219 sudah pernah dilakukan, tapi hanya berstandar nasional. Saat ini pemerintah tengah melakukan pembuatan hingga sertifikasi internasional dari The Federal Aviation Administration (FAA) agar bisa dikomersialkan.
“Nanti kalau dikomersialisasi jadi komersial, sehingga bisa menjadi jembatan udara yang menghubungkan tempat terkecil ke tempat yang lain (di Indonesia), sekaligus membangkitkan industri kedirgantaraan Indonesia,” ungkap Amalia.
Amalia melanjutkan, pemerintah daerah pun membutuhkan pesawat amphibi N219 tersebut, sehingga mereka bisa dengan leluasa menarik para turis mancanegara untuk bisa memberikan pundi devisa negara.
Terlebih, kata Amalia, pesawat amphibi N219 tidak membutuhkan bandara besar, sehingga cost yang dikeluarkan pemerintah daerah juga akan efisien. “Daerah membutuhkan itu. Sekaligus kalau pakai amphibi, tidak perlu membangun bandara yang mahal, cukup dengan water based port,” ujarnya.
Sebagai informasi, pesawat amphibi N219 merupakan pesawat besutan PT Dirgantara Indonesia. Pesawat ini dapat melakukan lepas landas dan pendaratan di permukaan air.
Setelah mendapatkan sertifikasi dari FAA dan bisa dikomersilkan, pesawat N219 diharapkan bisa dimanfaatkan untuk berbagai sektor, seperti layanan pariwisata, layanan perjalanan dinas pemerintahan, oil and gas company, layanan kesehatan masyarakat, SAR dan penanggulangan bencana, serta pengawasan wilayah maritim.
Berbagai wilayah di Indonesia pun cukup berpotensi untuk menggunakan pesawat ini, seperti Danau Toba, Pulau Bawah Kepri, Pulau Derawan Kaltim, Raja Ampat, Wakatobi, dan Pulau Moyo.
Potensi pasar yang besar juga terlihat khususnya di Asia Pasifik. Kini, ada 150 unit pesawat aktif dan 45% dari total populasi tersebut telah memasuki masa aging.
Pesawat amphibi N219 memiliki kecepatan hingga 296 km per jam pada ketinggian maksimal 10.000 kaki. Dengan beban 1.560 kg, pesawat mampu menempuh jarak hingga 231 km.
Take-off untuk ketinggian 35 kaki dari darat membutuhkan jarak 500 meter, sedangkan dari air, pesawat ini membutuhkan jarak hingga 1.400 meter. Kemudian untuk landing dari ketinggian 50 kaki, pesawat ini membutuhkan jarak 590 meter untuk di pendaratan di darat, dan 760 meter untuk di pendaratan di laut. (ARH)