RADAR TANGSEL RATAS – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menaksir potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil dugaan kejahatan lingkungan mencapai Rp 20 triliun. Menurut Direktur Analis dan Pemeriksaan PPATK, Beren Rukur Ginting, indikasi potensi itu didapat dari sekitar 53 laporan terkait dugaan kejahatan lingkungan.
“Kalau kita gali di transaksi keseluruhan, keseluruhan itu tidak kurang dari Rp 20 triliun,” kata Beren di kawasan Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/6).
Meski demikian, Beren menegaskan bahwa transaksi lebih dari Rp 20 triliun itu belum dipastikan seluruhnya terkait tindak pidana. PPATK pun akan menelusuri lebih jauh terkait hal itu.
“Tapi angka Rp 20 triliun ini tidak seluruhnya terkait tindak pidana. Tapi bagaimana kita melihat memastikan suatu transaksi dia terindikasi tindak pidana, mau enggak mau harus kita ungkap transaksinya,” ujar Beren.
Lebih lanjut, PPATK menjabarkan bahwa potensi TPPU tersebut berasal dari 53 laporan dari 6 dugaan tindak pidana asal. Adapun 53 laporan terkait tindak pidana kejahatan di sektor lingkungan asal yang dimaksudkan adalah perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar (TSL), pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup, perpajakan, serta kelautan dan perikanan.
Pada tahun 2022, PPATK mendapat 11 laporan terkait perdagangan ilegal TSL/ilegal wildlife trades. Kemudian ada delapan laporan di bidang kehutanan dan delapan lapaorran di bidang pertambangan. Selanjutnya ada enam laporan di bidang lingkungan hidup serta satu laporan di bidang kelautan dan perikanan.
Lalu, pada tahun 2023, PPATK mendapatkan 5 laporan terkait perdagangan ilegal TSL/ilegal wildlife trades, 3 laporan di bidang pertambangan, masing-masing 1 laporan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup. Kemudian 6 laporan di bidang perpajakan serta 3 laporan di bidang kelautan dan perikanan.
Beren mengatakan PPATK menemukan tipologi modus TPPU yang berasal dari kejahatan lingkungan. Salah satunya, kejahatan di bidang lingkungan dengan melibatkan negara lain.
Selain itu, aktivitas ekspor dan impornya ditemukan kejanggalan. Biasanya, kata Beren, negara tujuan dan asal pengekspor berbeda dengan yang aslinya. “Terkait eksportasi emas misalnya, itu kan yang disampaikan itu ekspornya di negara tujuan dan asal itu berbeda. Itu lah berbagai macam modus pelaku tidak menggambarkan aktivitas yang bener,” tutur Beren.
Selanjutnya, Beren juga mengungkapkan ada juga modus dengan pemalsuan dokumen dan perizinan. “Kadi supaya dia terlihat benar dia harus menggunakan dokumen dari perusahaan yang punya izin usaha, tapi sebenarnya barangnya ga dari situ,” katanya.
Dalam lingkup terkecil, kata Beren, kejahatan lingkungan juga bisa menggunakan modus penambangan petani kecil. Menurut Beren, pemerintah kerap membiarkan penambangan ilegal yang dilakukan oleh warga perorangan. Tapi pihaknya menemukan penambangan warga tersebut juga banyak yang dipegang oleh oknum besar.
“Kadang pemerintah itu ketika dia warga lokal, itu karena kepentingan ekonomi dibiarkan untuk hidup. Dengan praktik-praktik seperti itu ternyata dari analisa kita, ternyata ada yang nimbrung di baliknya,” ujarnya.
“Di baliknya itu bukan petani sesungguhnya. ada orang di balik petani itu yang menggerakkan,” katanya lagi.
Sebelumnya, PPATK menemukan transaksi mencapai Rp1 triliun dari satu kasus Green Financial Crime (GFC) atau kejahatan keuangan terkait lingkungan hidup. Uang tersebut di antaranya mengalir ke anggota parpol.
“Nilai transaksinya luar biasa terkait GFC ini. Ada yang Rp1 triliun satu kasus. Dan itu alirannya kemana-mana, ada yang ke anggota partai politik,” kata Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono, dalam acara di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (19/1).
KLHK membentuk tim gabungan bersama PPATK untuk memberantas TPPU terkait dengan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TPLHK).
Tim tersebut dibentuk melalui Surat Keputusan (SK) Dirjen Penegakan Hukum LHK Nomor: SK.37/PHLHK/PHPLHK/GKM.3/05/2023 tanggal 11 Mei 2023. (ARH)