RADAR TANGSEL RATAS – Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menilai negara tidak perlu terlalu dalam mengatur mekanisme internal partai politik (parpol), termasuk soal pembatasan masa jabatan ketua umum parpol. Pernyataan itu ditegaskan Masinton dalam menanggapi adanya gugatan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Masinton, masing-masing organisasi, apalagi organisasi parpol, memiliki karakteristik dan ciri masing-masing.
“Jadi nggak bisa dipersamakan dan masing-masing organisasi partai politik memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang terpisah-pisah. Jadi itu nggak perlu diatur. Negara nggak perlu terlalu jauh mengatur mekanisme organisasi partai politik,” kata Masinton di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Masinton menuturkan, bila pada akhirnya negara ikut mengatur parpol selalu organisasi maka dampak yang ditimbulkan akan luas. Tidak hanya kepada parpol, aturan dan pembatasan-pembatasan serupa nantinya akan merembet ke organiasi lain. Karena itu, ia mengatakan pembatasan masa jabatan ketum parpol bukan suatu hal yang relevan.
“Jadi menurut saya, MK tidak perlu harus mengabulkan itu, itu biarkan diserahkan pada mekanisme masing-masing organisasi tentang periodesasi masa jabatan ketua umum karena organisasi partai politik itu organisasi di luar negara,” katanya.
Sebelumnya, Eliadi Hulu dan Saiful Salim yang masing-masing berasal dari Nias Utara dan Yogyakarta menggugat aturan tentang masa jabatan ketua umum partai politik. Keduanya menggugat Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan tersebut, pemohon meminta agar ada aturan rinci tentang pergantian kepengurusan partai politik. Mereka meminta agar masa jabatan ketua umum partai politik bisa diatur maksimal hanya dua periode saja.
“Menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART. Khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut’,” demikian bunyi petitum pengajuan gugatan pemohon, dikutip pada hari Selasa (27/6/2023).
Gugatan itu diajukan karena pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan untuk menjadi ketua umum di internal partai politik. Mereka juga menilai tidak ada kepastian hukum dalam AD ART masing-masing parpol mengenai pengaturan pembatasan masa jabatan dan periodesasi ketua umum partai politik.
“Secara ideal dan berdasarkan preseden umum, pimpinan suatu organisasi diberikan kesempatan untuk memimpin selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut,” lanjut pemohon masih dalam petitumnya.
Alasan lainnya yakni menyorot politik dinasti di tubuh partai politik. Dalam gugatannya, kedua pemohon menyebut politik dinasti di PDIP dan Partai Demokrat.
“PDIP ketua umumnya telah menjabat selama kurang lebih 24 tahun, yakni sejak tahun 1999 hingga sekarang dan saat ini yang menjadi Ketua DPP PDIP adalah anak dari ketua umum sendiri, yakni Puan Maharani,” tulis petitum permohonan.
Hal serupa disebut juga terjadi pada Partai Demokrat yang sebelumnya dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat ini, tongkat kepemimpinan Partai Demokrat dimiliki oleh putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono.
“Saat ini, SBY menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menjabat sebagai Wakil Ketua Umum yang juga merupakan anak kedua dari SBY,” tutur pemohon.
Dengan begitu, Eliadi Hulu dan Saiful Salim meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengatur dan membatasi masa jabatan ketua umum selama 5 tahun dengan 2 periode sehingga terjadi kepastian hukum dan menghindari pemusatan kekuasaan. (ARH)