RADAR TANGSEL RATAS – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan kepolisian telah menghabiskan anggaran sebesar Rp 303,5 triliun untuk pengadaan gas air mata sepanjang tahun 2015 hingga 2022.
Menurut peneliti dari ICW, Wana Alamsyah, jumlah itu diketahui pihaknya dari hasil analisis sejumlah laporan yang bersumber dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah.
“Kepolisian mengelola anggaran sekitar 35 persen atau sebesar Rp 303,5 triliun untuk pengadaan gas air mata dari total uang yang dimilikinya sejak tahun 2015,” ungkap Wana dalam konferensi pers daring, Minggu (9/7/2023).
Menurut Wana, alokasi anggaran tersebut digunakan kepolisian untuk membeli/menyewa jasa melalui sejumlah metode seperti tender, penunjukan langsung, pengadaan langsung dan e-purchasing.
Selain itu, ICW juga menemukan ada lonjakan drastis pembelian gas air mata pada 2017. Pada tahun itu, kepolisian menghabiskan Rp 557,40 miliar untuk keperluan tersebut. “Pada 2017 terjadi lonjakan drastis yang mana kepolisian melakukan banyak pembelian peralatan gas air mata dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” tutur Wana.
Lebih lanjut, Wana menyebut perlengkapan yang paling banyak dibeli oleh kepolisian adalah amunisi gas air mata dengan total lebih dari 868 ribu peluru gas air mata. Pembelian itu menghabiskan dana Rp 1,1 triliun. Selain itu, ada juga sekitar 36 ribu pelontar gas air mata yang dibeli dengan nilai kontrak Rp 657,4 miliar.
Kemudian, sejak tahun 2020 dan 2021, kata Wana, kepolisian mulai membeli drone pelontar gas air mata sebanyak 17 unit. Total dana yang dikeluarkan Rp 65,5 miliar.
Wana juga menuturkan bahwa publik tidak dapat mengetahui alasan di balik pembelian peralatan gas air mata itu, karena dokumen rencana kerja tahunan polisi tidak terbuka. Meski demikian, berdasarkan hasil analisis ICW, peningkatan pembelian gas air mata itu sejalan dengan banyaknya protes dari masyarakat terhadap penolakan kebijakan pemerintah.
“Paling tidak ada beberapa kondisi atau kejadian yang saat itu muncul. Tahun 2017 ada penolakan hak angket DPR terhadap KPK, aksi solidaritas Kendeng,” ucap Wana.
“Kami menganalisis dan berasumsi bahwa setiap ada penolakan terhadap kebijakan pemerintah, pemerintah mencoba untuk mengeluarkan upaya ekstra dengan membeli sejumlah barang untuk pengamanan,” Wana menambahkan.
Jika ditotal, Wana mengungkapkan ada 144 peristiwa penembakan gas air mata oleh kepolisian sepanjang tahun 2015-2022. Penembakan gas air mata paling banyak terjadi di tahun 2019. Dia menyebut pada saat itu ada massa aksi yang memprotes kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
“Kepolisian cenderung reaktif saat menangani aksi massa dan menggunakan gas air mata sebagai cara membubarkan massa. Polanya meningkat sejak 2019 -2022,” ujarnya.
Wana merinci, delapan peristiwa penembakan gas air mata terjadi di 2015, 16 peristiwa di tahun 2016, 12 peristiwa di tahun 2017, 15 peristiwa di tahun 2018. Jumlah itu mengalami kenaikan cukup tinggi pada 2019 dengan 29 kejadian penembakan gas air mata.
“Pada tahun 2020 sebanyak 24 kejadian, 2021 sebanyak 17 kejadian dan 2022 sebanyak 23 kejadian penembakan gas air mata,” tuturnya.
Salah satu, peristiwa yang dilatarbelakangi oleh gas air mata adalah Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada pada 1 Oktober 2022. Saat itu, ratusan nyawa suporter sepak bola melayang akibat gas air mata yang ditembakkan oleh aparat dalam pertandingan Arema Malang melawan Persebaya Surabaya. (ARH)