
RADAR TANGSEL RATAS – Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui keuntungan yang dinikmati oleh Indonesia dari kebijakan hilirisasi tambang nikel terbilang kecil.
Menurut perhitungannya, Indonesia hanya menikmati 20-30 persen keuntungan dari devisa hasil ekspor (DHE) hilirisasi komoditas itu.
Menurut Bahlil, kecilnya keuntungan itu karena semua teknologi yang digunakan dalam melakukan hilirisasi nikel berasal dari luar negeri.
“Jangan mimpi devisa hasil ekspor (DHE) industri akan kembali seutuhnya ke Indonesia, contoh hilirisasi nikel, semua kreditnya kan dari luar, teknologi dari luar,” katanya dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Senin (4/9/2023).
“Begitu ada hasil penjualan dan revenue, yang mereka lakukan pertama membayar pokok tambah bunga dari pinjaman mereka. Yang kembali ke kita paling tinggi 20 persen-30 persen, itu pun hanya untuk operasional,” papar Bahlil.
Lebih lanjut, kata Bahlil, pemerintah bukannya tidak mau menarik cuan dari total nilai ekspor nikel dan turunannya, tapi semua itu karena keterbatasan industri.
“Bukan tidak kembali karena tidak mau dibawa, bukan. Itu 30 persen-40 persen bisa kembali, tetapi selebihnya dia harus bayar pokok tambah bunga, itu untuk industri. Tapi kalau untuk tambang, penuh kembali ke Indonesia,” ungkap Bahlil.
Data mengenai hilirisasi nikel, kata Bahlil, arus jelas diungkap ke publik. Maka dari itu, ia meminta masyarakat Indonesia tidak mudah terpengaruh ucapan salah satu pengamat ekonomi, meski ia tidak merinci siapa yang dimaksud.
Ia mencontohkan soal pengamat yang mengatakan harga nikel Indonesia tidak sampai US$80, sehingga membuat Indonesia rugi. Ia mempertanyakan bagaimana ekonom tersebut menghitungnya.
“Macam mana cara hitungnya? Pajak ekspor kan 10-15 persen, biaya logistik pengiriman US$12, logistik penguatan berapa? Kalau dihitung-hitung US$70-US$75. Masa orang enggak boleh untung US$5-US$10 untuk trading?” tandas Bahlil.
Sebelumnya, ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyebut hilirisasi nikel yang dilakukan Presiden Jokowi justru 90 persen keuntungannya dinikmati China.
“Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat 10 persen, 90 persennya ke China,” ungkap Faisal dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi di Jakarta pada Selasa (8/8/2023) lalu.
Dalam raker tersebut, anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP Harris Turino meminta klarifikasi Bahlil soal ucapan pengamat ekonomi yang mengatakan hilirisasi nikel dinikmati negara asing. Harris mengaku tidak punya data dan kapasitas lebih sebagai ahli nikel, sehingga meminta Bahlil merinci.
Menurut Harris, Presiden Jokowi sudah membantah tudingan tersebut. Meski demikian, ia skeptis soal peningkatan nilai ekspor yang terlihat besar, terlebih karena basis angka awalnya kecil.
“Sebenarnya ‘kue madu’ yang menikmati itu siapa? Ini tugas Pak Bahlil memastikan bahwa madunya ada di Indonesia,” tutur Harris. (ARH)