RADAR TANGSEL RATAS – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa kericuhan di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Menurut Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P Siagian, ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM saat dua kali bentrokan antara warga sipil dan aparat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, awal September lalu. Meski demikian, lembaganya masih mendalami dugaan pelanggaran HAM tersebut.
Komnas HAM, kata Saurlin, telah melaksanakan pemantauan proaktif pada 15-17 September 2023 ke wilayah tersebut dengan meninjau lokasi dan meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait. Ia menyebut menemukan adanya pengerahan lebih dari 1.000 pasukan gabungan untuk mengamankan rencana pengukuran atau pematokan tata batas di Pulau Rempang oleh BP Batam pada 7 September.
Bahkan, Saurlin menemukan bukti bahwa Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Barelang meminta tambahan 400 pasukan dari Kepolisian Daerah Riau untuk mengantisipasi aksi masyarakat yang semakin besar dan tidak terkontrol. “Itu kita nilai sangat berlebihan,” ungkapnya.
Selain itu, Saurlin menambahkan, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat saat terjadi bentrok antara masyarakat dan aparat pada 7 dan 11 September. Delapan orang sudah dibebaskan, dan 34 lainnya masih ditahan.
Lebih lanjut, Saurlin menuturkan Komnas HAM mendapatkan keterangan bahwa gas air mata yang masuk ke lingkungan sekolah berasal dari hutan yang ada di depan SMPN 22 Galang. Jarak hutan itu dengan gedung sekolah sekitar 30 meter. Bahkan sebelum gas air mata masuk ke lingkungan sekolah, terdengar tiga kali dentuman dari hutan depan sekolah.
Selain itu, pihak SDN 24 Galang juga mendengar dentuman keras di beberapa titik di lingkungan sekolah dan seketika dipenuhi gas air mata. Hal itu, kata Saurlin, masih meninggalkan dampak psikologis bagi siswa sehingga kehadiran siswa tidak pernah mencapai 100 persen usai peristiwa tersebut.
“Mereka mengakui gas air mata masuk ke sekolah dan menimbulkan kepanikan, luka-luka, pingsan, pusing, mual dan sebagainya yang mengenai puluhan siswa di sana. Itu membuat trauma mereka dan besok harinya tidak sekolah sebagian besar. Secara psikolog, mereka sangat ketakutan dengan peristiwa tersebut,” ungkap Saurlin.
Bukan itu saja. Bahkan Komnas HAM juga menemukan korban bayi berusia delapan bulan yang terdampak hebat terkait penggunaan gas air mata pada peristiwa itu di sekitar SDN 24 Galang.
Saurlin lalu menjelaskan, Komnas HAM telah mendatangi masyarakat di Desa Sembulang, Desa Dapur 6, dan Pantai Melayu. Dan berdasarkan keterangan sejumlah penduduk di desa-desa tersebut, Saurlin mengatakan Menteri Investasi Bahli Lahadalia sempat datang dari rumah ke rumah dengan membawa aparat keamanan sehingga masyarakat merasa terintimidasi.
Menurut Saurlin, masyarakat yang diwawancara, juga mengaku tidak pernah menandatangani persetujuan relokasi dan tidak pernah mendapatkan sosialisasi. “Yang menimbulkan perlawanan menurut masyarakat karena terjadi pematokan lahan sepihak,” ujarnya.
Di desa tersebut, kata Saurlin, ada banyak makam kuno yang sudah sangat tua dan menjadi bukti penting bahwa di wilayah tersebut sudah ada perkampungan jauh sebelum proyek ini ada.
“Menurut kami memang sudah terjadi pelanggaran hak-hak masyarakat di sana, itu jelas ya. Karena tidak ada dari sejak awal proses yang dialogis dan transparan terkait relokasi dan penggusuran, itu tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” papar Saurlin.
Saurlin menambahkan, jika ingin melakukan penggusuran, setidaknya harus mendahulukan permufakatan dari masyarakat, pemberitahuan yang layak, dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan atau adanya tempat baru terlebih dahulu. “Sementara dalam kasus ini, penggusuran dilakukan padahal tempat baru tidak ada sehingga masyarakat kebingungan,” ungkapnya.
Atas temuan itu, Komnas HAM meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian agar meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (Permenko Perekonomian RI) Nomor 7 Tahun 2023.
Komnas HAM juga merekomendasikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) untuk tidak menerbitkan Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL) di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi belum jelas (clear-and-clean).
Selain itu, Komnas HAM juga berencana melakukan pertemuan pada 25 September mendatang dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kepala Staf Presiden (KSP), Kementerian Sekretariat Negara (Setneg), Menteri ATR/BPN, dan Kapolri untuk mendiskusikan penyelesaian bersama. (ARH)