RADAR TANGSEL RATAS – DPR menyoroti kurangnya keterwakilan perempuan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg 2024). Ketua DPR RI Puan Maharani pun pernah meminta KPU merevisi aturan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Kebijakan itu mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Puan menilai aturan ini mengancam keterwakilan perempuan di parlemen.
“Anggota DPR perempuan punya peranan penting memperjuangkan perempuan, ibu, dan anak, karena memperjuangkan kaumnya sendiri. Jadi aturan pemilu harus mendukung peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, bukan malah sebaliknya,” ungkap Puan dalam keterangan tertulis, Jumat (26/5/2023).
Menurut Puan, beleid itu berbeda dengan PKPU serupa pada Pemilu 2019. Pasal 6 ayat (2) PKPU No. 20/2018 mengatur apabila dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, maka dilakukan pembulatan ke atas.
“Jangan sampai mundur lagi karena aturan yang mungkin maksudnya mempermudah proses penghitungan, tapi justru merugikan kalangan perempuan,” ujar Puan.
Puan juga menilai bahwa pada Pemilu 2019 yang lalu banyak pemimpin perempuan yang lahir dan terbukti kepemimpinannya membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat. “Keterwakilan perempuan di bidang politik, termasuk parlemen, adalah amanat konstitusi kita. Perjuangan perempuan di politik tidak mudah karena lawannya mayoritas adalah laki-laki. Jangan semakin dipersulit dengan aturan yang tidak pro terhadap perempuan,” paparnya.
Terkait hal itu, KPU pun pernah berjanji akan melakukan revisi pada aturan tersebut setelah adanya putusan uji materiil dari Mahkamah Agung (MA). Tapi, hingga penetapan DCT anggota legislatif Pemilu 2024, tidak juga ada perubahan dari PKPU soal itu.
Bahkan putusan dari MA itu juga menjadi rujukan dari Bawaslu atas pelaporan dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Lambannya KPU dalam menindaklanjuti putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 terkait penghitungan kuota perempuan di legislatif berakibat terhadap kesiapan parpol dalam memperbaiki daftar bakal calonnya agar dapat memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30 persen.
Anggota DPR RI, Kris Dayanti, juga turut menyoroti DCT anggota legislatif pada Pemilu 2024 yang tidak memenuhi aturan keterwakilan perempuan. Ia menilai hal tersebut merupakan suatu kemunduran dalam proses demokrasi.
“Saya menyesalkan pelanggaran administratif KPU tentang keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam Pemilu. Padahal keterlibatan perempuan sangat penting untuk menghindari oligarki dalam politik,” tutur perempuan atau yang akrab disapa KD itu.
Kris Dayanti lalu berharap KPU mematuhi keputusan Bawaslu yang meminta KPU memperbaiki administrasi tata cara pencalonan DPR RI dengan menindaklanjuti putusan MA. “Keputusan Bawaslu harus dijadikan momentum untuk memastikan bahwa keterwakilan perempuan di arena politik tidak diabaikan,” tuturnya.
Kris Dayanti juga menilai kebijakan KPU yang kurang mendukung keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024 tidak mendukung kesetaraan gender. “Kita selama ini teriak-teriak mengenai kesetaraan gender, tapi kebijakan dari KPU tidak merepresentasikan itu. Jadi saya kita ini suatu kemunduran dari alam demokrasi Indonesia terhadap dukungan pada kaum perempuan,” tuturnya.
Pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Titi Anggraini juga ikut angkat suara. Ia menilai soal keterwakilan perempuan di parlemen.harus ikut diperhatikan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Menurut Titi, Bawaslu telah memutuskan KPU melakukan pelanggaran administrasi mengenai target keterwakilan caleg perempuan yang seharusnya sebesar 30 persen. Bawaslu membuat putusan atas Perkara Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) No. 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 yÿang menyimpulkan KPU secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilu. Putusan tersebut atas pelaporan dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Titi juga menuturkan bahwa pelanggaran tersebut terjadi karena dalam menetapkan 267 daftar calon tetap (DCT) anggota DPR pada Pemilu 2024, KPU terbukti tidak menegakkan ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam pengajuan daftar calon sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Dukungan DPR pada pemenuhan keterwakilan perempuan dalam pencalonan Pemilu 2024 harus segera ditindaklanjuti KPU secara konkret,” ujar Titi dalam keterangan tertulis, Jumat (8/12/2023).
Selain itu, Titi juga mengaku sepakat dengan DPR yang menyebut kurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu dapat berdampak pada demokrasi di Indonesia. “Demokrasi akan mengalami regresi apabila keterwakilan perempuan dilemahkan,” ujar peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia itu.
Lebih lanjut, Titi menyebut selama ini KPU sering beralasan keterlambatan pelaksanaan putusan MA terkait keterwakilan perempuan sering terkendala oleh persetujuan dari DPR. “Apalagi KPU sebagai pelaksana UU mesti menyelenggarakan tahapan pemilu sesuai dengan apa yang menjadi perintah UU dan mutlak ambil peran dalam penguatan praktik demokrasi Indonesia,” ungkap Titi. (ARH)