RATAS – Anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Perjuangan (KTKI-P) melaporkan Kementerian Kesehatan ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dinilai mendadak, sepihak, dan tanpa adanya mitigasi yang memadai.
Seluruh komisioner KTKI kehilangan pekerjaan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu atau evaluasi yang mendalam, menimbulkan keresahan di kalangan anggota yang merasa hak-hak dasar mereka diabaikan.
Di antara korban PHK, terdapat perempuan-perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga, seperti janda yang masih menanggung biaya pendidikan anak-anak mereka. Kehilangan pekerjaan tetap ini berisiko mengguncang stabilitas finansial mereka yang sangat bergantung pada penghasilan dari KTKI untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kebijakan Kementerian Kesehatan yang mulai diterapkan pada September 2022, yang mengharuskan anggota KTKI untuk berdomisili di Jakarta dan mengikuti jadwal presensi pagi dan sore layaknya ASN, turut memperburuk situasi, terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota. Banyak anggota yang terpaksa pindah ke Jakarta dan meninggalkan pekerjaan mereka demi memenuhi kewajiban tersebut.
Muhammad Jufri Sade, perwakilan KTKI-P dari Sulawesi Selatan, yang kini terpaksa kembali ke kampung halamannya, menyebut keputusan PHK ini sebagai langkah ceroboh yang mengabaikan kelangsungan hidup para korban. “Banyak dari kami sudah mengorbankan pekerjaan dan rutinitas di kampung halaman,” ujarnya dengan nada kecewa.
Sementara, Baequni, perwakilan KTKI-P yang juga dosen senior di UIN Syarif Hidayatullah, mengungkapkan rasa kecewa yang mendalam.
“Bayangkan, banyak anggota yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya, bahkan ada yang PNS, kini harus kembali ke instansi asal tanpa persiapan. Menurut aturan BKN, seharusnya mereka diberi waktu untuk mempersiapkan diri minimal enam bulan. Namun keputusan ini datang begitu saja, tanpa transisi yang jelas,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kebijakan ini tak hanya merusak karier mereka, tetapi juga menghancurkan kehidupan pribadi dan keluarga.
Sedangkan, Akhsin Munawar, anggota KTKI-P asal Jambi yang juga terpaksa kembali ke daerahnya, mengungkapkan dampak finansial dan psikologis yang sangat berat akibat PHK sepihak ini. “Kami merasa malu dan terhina, karena bagi sebagian orang, masa kerja yang dipersingkat ini dianggap sebagai kesalahan pribadi,” ujar Akhsin dengan nada kecewa.
Baequni juga menambahkan, “PHK mendadak ini tidak hanya menghilangkan pendapatan, tetapi juga menghancurkan harapan kami untuk memiliki stabilitas finansial di masa depan. Kami berharap pemerintah segera melakukan mitigasi bagi korban PHK ini dan memberikan dukungan yang lebih nyata.”
Imelda Retna Weningsih, S.Tr.MIK., M.Kom, adalah salah satu contoh perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebelumnya, Imelda menjabat sebagai Kepala Bagian Rekam Medis di sebuah rumah sakit swasta ternama di Bandung, namun mengundurkan diri setelah diterima di KTKI. Imelda kini menanggung dua anak yang masih bersekolah dan kuliah, serta dua keponakan, orang tua, dan tiga anggota keluarga lainnya yang tidak berkeluarga.
“Keputusan ini sangat mengganggu. Sebagai janda, saya harus menanggung tiga keluarga. Saya sering merasa sakit kepala dan insomnia, bahkan merasa tidak percaya diri karena mendadak menganggur. Semua seperti mimpi buruk,” kata Imelda dengan suara bergetar saat berbicara di depan Unit Pengaduan Komnas Perempuan.
Sofiawatie, A.Md.TKv., S.Kep, tenaga kesehatan dari Konsil Keteknisian Medis, juga merasakan dampak yang sama. Sofiawatie, yang sebelumnya bekerja di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, adalah seorang janda yang menanggung tiga keponakan yatim piatu dan biaya hidup keluarga almarhum adiknya. “Dengan diberhentikan tanpa penghasilan, saya bingung bagaimana membiayai pendidikan keponakan-keponakan saya dan membayar utang rumah,” ujarnya.
Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sofiawatie terpaksa berjualan rujak serut dan asinan, namun pendapatan tersebut masih jauh dari cukup. Sementara itu, Tri Moedji Hartiningsih, A.Md.PK., S.Pd., M.Pd., seorang janda yang juga menjadi tulang punggung keluarga, kini bekerja sebagai driver online untuk menutupi kebutuhan bulanan.
“Sebagian besar dari kami, perempuan, mengalami gangguan fisik dan mental, seperti demam, insomnia, dan kehilangan rasa percaya diri,” kata Rahmaniwati, AMTG, S.Pd., M.Kes, seorang ibu tunggal yang kini hanya mengandalkan gaji pensiun yang sangat minim. “Kami merasa dihina, seolah-olah kami tidak ada harganya,” tambah Nelly Frida Hursepuny, M.Psi, Psikolog, yang menilai PHK ini sebagai penghinaan terhadap martabat mereka.
Para korban PHK massal ini berharap pemerintah dapat segera bertindak untuk memberikan dukungan dan solusi yang lebih manusiawi. Mereka mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyadari dampak domino dari kebijakan ini, dan memastikan kesejahteraan tenaga kesehatan yang telah mengabdi tetap terjaga. (HDS)