RATAS – Dalam pembuatan kebijakan publik, penting bagi pemerintah untuk mengandalkan kajian akademik dan riset ilmiah sebagai dasar keputusan. Namun, seringkali, pejabat dan pembuat kebijakan menghadapi kendala dalam mencerna laporan riset yang panjang dan penuh dengan terminologi ilmiah. Untuk itu, policy brief menjadi alat yang sangat penting.
Policy brief adalah dokumen ringkas yang berisi hasil riset dan rekomendasi kebijakan yang dapat langsung diterapkan oleh pembuat kebijakan. Menurut Abdul Rahman Ma’mun (Aman), dosen Universitas Paramadina, pembuat kebijakan memerlukan policy brief untuk membantu mereka memahami hasil riset dengan cepat dan mengambil keputusan yang tepat tanpa harus membaca laporan riset yang terperinci.
Hal tersebut disampaikan Aman dalam acara “Menulis Policy Brief”, yang diselenggarakan secara hybrid oleh Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada Senin (18/11). Acara ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Dakwah UIN SMH Banten, Dr. Endad Musaddad, para wakil dekan, kepala program studi, dosen, serta peneliti.
Aman menjelaskan bahwa para pejabat seringkali kesulitan untuk memahami laporan riset yang terlalu teknis dan panjang. Oleh karena itu, policy brief yang ringkas dan mudah dipahami sangat diperlukan untuk menyampaikan poin-poin penting dari hasil riset. “Para pembuat kebijakan sering terhalang laporan riset yang begitu panjang, sedangkan pejabat perlu cepat menangkap inti dari riset itu. Di sinilah peran penting policy brief,” ujarnya.
Menurut Aman, policy brief umumnya disusun berdasarkan riset yang menghasilkan penemuan baru yang dapat membawa manfaat bagi masyarakat. Salah satu cara agar hasil riset tersebut dapat memberikan dampak nyata adalah dengan mengubahnya menjadi kebijakan publik. Untuk itu, para peneliti dan dosen perlu mengkomunikasikan temuan ilmiah dalam bahasa yang mudah dipahami oleh pembuat kebijakan, masyarakat, dan industri.
“Policy brief itu sangat vital. Harus bisa dicerna dengan mudah oleh semua pihak, baik akademisi, masyarakat, maupun industri,” tambah Aman.
Aman juga menambahkan bahwa profesi wartawan memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menulis policy brief. Menurutnya, wartawan seringkali terlatih untuk mengolah bahasa akademis agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, para akademisi juga memerlukan bantuan praktisi seperti wartawan untuk membuat policy brief yang dapat dieksekusi oleh pembuat kebijakan.
“Di lapangan, untuk mempresentasikan policy brief itu hanya perlu 2 slide PowerPoint, padahal awalnya bisa mencapai 11 slide. Sederhana, padat, dan mudah dipahami,” ujar Aman, yang juga memiliki pengalaman sebagai anggota Komisi Informasi Pusat (2011-2013).
Aman juga mengidentifikasi dua hal penting dalam penulisan policy brief: pertama, sasaran dari policy brief harus memiliki otoritas dalam bidang yang menjadi topik penelitian. Kedua, sasaran tersebut idealnya memiliki agenda atau ketertarikan terhadap permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, policy brief disusun untuk menjawab kebutuhan sasaran dalam mengatasi permasalahan yang diteliti.
Melalui acara ini, Aman berharap para peneliti, akademisi, dan praktisi dapat lebih memahami pentingnya menulis policy brief yang jelas, ringkas, dan langsung dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan untuk mewujudkan kebijakan yang berbasis riset dan memberikan manfaat bagi masyarakat. (HDS)