Lapor Presiden Prabowo, setelah Lapor Mas Wapres, KTKI Perjuangan Tuntut Cabut Keppres KKI karena Kesewenangan Budi Gunadi Sadikin

19
66

RATAS – Pasca mengadu ke posko pengaduan “Lapor Mas Wapres”, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) Perjuangan melanjutkan laporan mereka ke Istana Negara, menuntut pencabutan Kepres Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang dinilai penuh dengan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang.

“Kami datang ke Istana Negara mengajukan permohonan audiensi dengan Presiden Prabowo karena beliau sendiri yang mengatakan, seorang pemimpin sejati harus bekerja untuk rakyat, bukan malah menjadikan rakyat korban di saat kesulitan,” ujar Rachma Fitriati, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, saat ditemui di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, pada Jumat (15/11/2024).

Muhammad Jufri Sade, seorang PNS yang telah mengabdi selama 17 tahun di Timor-Timur sebagai tenaga kesehatan, menambahkan, “Dalam pidato pertama Bapak Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau menegaskan dengan gamblang bahwa seorang pemimpin harus bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang rakyatnya merdeka dan bebas dari ketakutan.”

Imelda Retna Weningsih, Komisioner KTKI yang juga mewakili Asosiasi Perguruan Tinggi Rekam Medis dan Manajemen Informasi Kesehatan, mengutip pernyataan Prabowo dalam bukunya Kepemimpinan Militer (2020), “Prajurit Anda akan setia kepada Anda, jika Anda setia kepada mereka.” Menurutnya, ini adalah prinsip yang seharusnya diterapkan dalam pengelolaan lembaga negara, termasuk dalam hal pengelolaan tenaga kesehatan.

BACA JUGA :  Ajukan Erick Thohir Sebagai Cawapres Prabowo, Zulhas Buka-Bukaan Soal Alasannya

Akhsin Munawar, Komisioner KTKI yang memilih pensiun dini sebagai PNS di Provinsi Jambi, mengungkapkan kekecewaannya. “Kami yang telah bekerja keras selama ini menerbitkan 1,6 juta Surat Tanda Registrasi atas nama Menteri Kesehatan, malah diperlakukan seperti sampah oleh Kemenkes,” ujarnya.

Her Basuki, Komisioner KTKI dan pengurus PPNI, juga mengkritik langkah Kemenkes yang membubarkan KTKI dan menggantinya dengan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dalam waktu hanya 8 hari. “Biasanya, pembentukan lembaga non-struktural memerlukan waktu minimal 6 bulan hingga 1 tahun. Ini adalah langkah yang sangat terburu-buru,” tandasnya.

Baequni, Komisioner KTKI yang juga Dosen Senior UIN Syarif Hidayatullah, menyoroti penunjukan Drg. Arianti Anaya, MKM, mantan Dirjen Tenaga Kesehatan yang telah pensiun pada 1 Oktober 2024, sebagai Ketua KKI. “Arianti Anaya tidak hanya sudah pensiun, tetapi juga terlibat dalam Panitia Seleksi KKI. Ini adalah indikasi jelas adanya maladministrasi dalam PMK 12/2024 dan Kepres 69/M/2024,” ujarnya.

Ismail, perwakilan dari profesi transfusi darah, menambahkan bahwa masalah ini berkaitan erat dengan integritas. “Bagaimana mungkin seorang yang sudah purna bhakti, seperti eks-Dirjen Nakes, masih dilantik pada 14 Oktober 2024, sementara ia juga terlibat dalam Panitia Seleksi dan merupakan saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan APD senilai Rp 3,03 triliun di Kemenkes? Ini sangat mencoreng integritas pemerintah,” tegasnya.

BACA JUGA :  Hadapi Pilpres 2024, Ganjar Ditinggal Pendukungnya, Ex-GP Mania: Ganjar Tak Punya Gagasan dan Tak Punya Nyali!

Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan bahwa KKI, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, seharusnya bekerja secara independen tanpa intervensi dari Kemenkes. “KKI tidak berada di bawah kementerian, namun langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Ini adalah prinsip tata kelola negara yang baik,” ujarnya.

Rahmaniwati, seorang pensiunan Poltekkes Kemenkes yang kini mewakili profesi Teknisi Gigi, juga menyuarakan tuntutannya untuk pembatalan Kepres 69/M/2024 dan PMK 12/2024. “Jika kebijakan ini tidak dibatalkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi lembaga non-struktural lainnya di Indonesia,” tegasnya.

KTKI Perjuangan juga menekankan pentingnya prinsip Asta Cita yang disuarakan oleh Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. “Kami berharap Kemenkes menjadi pengayom yang bersinergi dengan seluruh tenaga kesehatan profesional, bukan malah membuang kami seperti sampah setelah kami bekerja keras untuk negara,” ujar Tri Moedji Hartiningsih, salah satu anggota KTKI yang kini beralih menjadi driver online setelah dipecat secara sepihak oleh Kemenkes.

Sri Sulistyati, Komisioner KTKI yang mewakili Fasilitas Pelayanan Kesehatan dari Konsil Kefarmasian, menambahkan, “Kemenkes melakukan PHK massal terhadap seluruh anggota KTKI tanpa mitigasi yang jelas, menggunakan alasan PMK 12/2024 yang diduga maladministrasi. Ini bertentangan dengan UU No. 17/2023 Pasal 450 dan PP 28/2024 Pasal 1167. Kemenkes juga mengharuskan kami berdomisili di Jakarta dan tidak boleh rangkap jabatan, tetapi ketika eks-Dirjen Nakes dilantik sebagai Ketua KKI, dia tetap merangkap jabatan sebagai Dirut RSCM. Ini adalah standar ganda yang sangat merugikan kami,” tegasnya.

BACA JUGA :  Heru Tjahjono: Menkes Harus Klarifikasi Proses Seleksi dan PHK Massal KTKI

Acep Effendi, Komisioner KTKI yang memilih pensiun dini, juga mempertanyakan mengapa beberapa anggota KKI masih merangkap jabatan, seperti sebagai Direktur RSCM dan Direktur RSUD Lampung. “Kenapa mereka tidak diminta untuk mundur dari jabatan PNS seperti yang diwajibkan pada anggota KTKI sebelumnya? Ini sangat tidak adil dan mengusik rasa keadilan,” pungkasnya. (HDS)

 

19 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini