Krisis Sampah Bekasi Makin Kronis: TPST Bantargebang Menumpuk, TPA Sumur Batu Cemari Air, Burangkeng Disegel

0
75

RATAS – Krisis pengelolaan sampah di Kota dan Kabupaten Bekasi kian mengkhawatirkan. Tiga lokasi utama pembuangan—TPST Bantargebang, TPA Sumur Batu, dan TPA Burangkeng—menghadapi persoalan serius yang berdampak langsung pada lingkungan dan kesehatan warga.

Dalam diskusi publik bertajuk Silaturahmi Ekologi dan Deklarasi Gerakan Pilah Sampah – Indonesia Bersih yang digelar di Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Kamis (24/4/2025), Kaukus Lingkungan Hidup (LH) Bekasi Raya mengungkap deretan pelanggaran dan kelalaian di balik krisis tersebut.

TPST Bantargebang dan TPA Sumur Batu Terancam Kolaps

TPST Bantargebang saat ini menampung lebih dari 55 juta ton sampah. Setiap hari, sebanyak 7.500 hingga 7.800 ton sampah baru masuk ke lokasi. Saat musim hujan dan banjir, volume itu melonjak hingga 12.000 ton per hari.

Sementara itu, TPA Sumur Batu menerima lebih dari 1.500 ton sampah per hari dan masih dikelola secara open dumping. Limbah cair (leachate) dari tumpukan sampah mengalir langsung ke drainase, mencemari Kali Ciketing dan Kali Asem. Ironisnya, instalasi pengolahan limbah cair (IPAL) di lokasi ini tidak berfungsi dan hanya menjadi pajangan.

BACA JUGA :  Pasca Pencapresan Anies, Nasdem Didesak Keluar dari Kabinet, Wasekjen NasDem: Apa Relevansinya? 

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto, menilai kondisi TPA Sumur Batu bahkan lebih buruk dari TPA Burangkeng yang telah disegel. “TPA Sumur Batu seharusnya disegel dan ditutup. Kepala Dinas LH Kota Bekasi juga layak dijadikan tersangka, karena melanggar UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah,” tegasnya.

Kompensasi Minim, Warga Tuntut Keadilan

Permasalahan kompensasi juga menjadi sorotan. Warga di sekitar TPST Bantargebang, terutama Kelurahan Sumurbatu, Cikiwul, dan Ciketingudik, menerima uang bau sebesar Rp 400 ribu per kepala keluarga (KK) per bulan. Namun di Kelurahan Bantargebang, jumlahnya hanya separuh. Uang tersebut berasal dari Pemprov DKI Jakarta, sementara Pemkot Bekasi disebut tidak memberikan kontribusi.

“Kerusakan lingkungannya parah, penyakit menyebar, air dan tanah tercemar logam berat. Rp 400 ribu sebulan itu terlalu kecil,” kata Ketua Kaukus LH Bekasi Raya, Agus Salim Tanjung. Ia menambahkan, warga sudah bertahun-tahun menghirup udara kotor dan terpapar limbah yang mencemari kulit, paru-paru, mata, hingga menyebabkan TBC.

BACA JUGA :  Ketua Komisi III DPR Dukung Mahfud Bentuk Satgas untuk Usut Transaksi Janggal Rp 349 T

Menurutnya, akar masalah ada pada tidak adanya pemilahan sampah sejak dari sumber. “Semua sampah—termasuk limbah B3—dicampur begitu saja. Ini yang membuat TPST dan TPA jadi sarang penyakit,” ujarnya.

TPA Burangkeng: Disegel, Tapi Masalah Tak Selesai

Ketua Prabu Peduli Lingkungan (Prabu PL), Carsa Hamdani, menyoroti dampak penyegelan TPA Burangkeng oleh Kementerian LHK pada Desember 2024 lalu. Selama dua tahun terakhir, air lindi dari TPA mengalir langsung ke sungai tanpa pengolahan. “Itu kejahatan lingkungan. Kadis LH Kabupaten Bekasi Donny Sirait sudah jadi tersangka, tapi belum juga ditahan. Malah masih sibuk pencitraan,” kecamnya.

Carsa juga menyoroti minimnya jumlah penerima kompensasi. Dari sekitar 17.000 KK di Desa Burangkeng, hanya 2.000 KK yang mendapat uang bau, itu pun sering terlambat cair hingga sembilan bulan. Besarannya pun hanya Rp 100 ribu per bulan. “Semua warga harusnya dapat kompensasi. Kami menuntut keadilan, bukan belas kasihan,” ujarnya.

Dorongan untuk Reformasi Tata Kelola Sampah

Kegiatan ini diinisiasi oleh Kaukus LH Bekasi Raya yang beranggotakan berbagai organisasi lingkungan seperti AMPHIBI, APPI, KPNas, Prabu PL, FJPL, Yayasan Ahli Salam Semesta, dan komunitas pemulung, nelayan, serta bank sampah.

BACA JUGA :  Warga Lampung Heboh, Banyak Benda Besar Melayang dan Terbakar di Langit Mereka!

Mereka menyerukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola sampah di Bekasi. Pemilahan sampah dari sumber, penghentian sistem open dumping, penguatan penegakan hukum, dan kompensasi yang adil menjadi tuntutan utama.

“Sudah cukup warga jadi korban. Pemerintah harus hadir dengan solusi, bukan sekadar tambal sulam,” pungkas Agus Salim Tanjung. (HDS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini