Banyak Warganya Tak Ingin Punya Anak, Singapura Alami Resesi Populasi

0
165
Angka kelahiran di Singapura pada tahun 2022 lalu anjlok sebesar 7,9%. Penurunan itu terjadi akibat tingginya biaya hidup, sehingga banyak orang ogah menambah anggota keluarganya. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Ada berita yang tak biasa tentang Singapura. Angka kelahiran di Singapura mencapai rekor terendah pada tahun 2022. Menurut data yang dihimpun para analis, angka kelahiran hidup anjlok sebesar 7,9% pada tahun lalu. Penurunan itu terjadi akibat tingginya biaya hidup, sehingga banyak orang ogah menambah anggota keluarga.

Penurunan angka kelahiran itu juga dipicu oleh menurunnya tingkat kesuburan para perempuan di Singapura. Data Departemen Statistik Singapura menunjukkan bahwa wanita berusia antara 25 dan 29 tahun kini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melahirkan dibandingkan wanita berusia antara 35 hingga 39 tahun.

“Memiliki anak terikat pada banyak hal – keterjangkauan rumah, pasangan, dan kematangan pasar kerja yang membuat Anda merasa cukup aman untuk melakukannya,” ungkap Jaya Dass, Direktur Pelaksana Ranstad Asia-Pasifik, seperti yang dilansir CNBC Indonesia (23/9/2023).

“Daya tarik ingin memiliki anak sebenarnya berkurang secara signifikan karena kehidupan telah semakin matang dan berubah,” tambah Dass.

Selain itu, Dass juga melihat pilihan menunda pernikahan menjadikan mereka merasa mendapat lebih banyak kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Hal itu menyebabkan beberapa orang menjadi lebih selektif dan memiliki harapan lebih besar terhadap pasangan mereka di masa depan..

BACA JUGA :  Banyak Dikomplain Masyarakat, Tilang Uji Emisi di DKI Jakarta Kembali Dihapus

Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Singapura pun mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif dan bonus untuk mendorong masyarakat memiliki anak.

Pasangan yang memiliki bayi yang lahir pada tanggal 14 Februari akan menerima masing-masing SG$ 11.000 (Rp 123 juta) untuk anak pertama dan kedua, dan SG$ 13.000 (Rp 146 juta) untuk anak ketiga dan seterusnya. Bonus ini meningkat sebesar 30% hingga 37% dari sebelumnya.

Selain itu, cuti ayah yang dibayar pemerintah juga ditingkatkan dua kali lipat, meningkat dari dua menjadi empat minggu bagi ayah dari bayi yang lahir pada tahun 2024.

Tapi, menurut Wen Wei Tan (analis di Economist Intelligence Unit), kebijakan bonus untuk mengatasi masalah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah.

“Mengatasi tingkat kesuburan mengharuskan kita untuk menghadapi beberapa kelemahan sistem yang mendasarinya. Yang berarti tidak hanya mengatasi tantangan demografis, namun juga membantu membangun kohesi sosial, dan mungkin melihat bagaimana kita dapat menumbuhkan sikap yang lebih sehat terhadap pengambilan risiko,” ungkap Wen Wei Tan.

BACA JUGA :  Mahfud Md: Ortu Bima Tak Boleh Diintimidasi Karena Merupakan Entitas Subjek Hukum

Sementara menurut Tan Poh Lin, peneliti senior di Institute of Policy Studies, Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, tingginya biaya hidup di Singapura menyebabkan semakin banyaknya pasangan yang memiliki dua pendapatan (income) dan tidak memiliki anak.

Hal itu, kata Poh Lin, juga disebabkan oleh perubahan pola pikir dan semakin banyak pasangan yang bersedia mendahulukan karier mereka daripada menikah dan memiliki anak.

Setelah perempuan mempunyai anak, kata Poh Lin, mereka akan melihat perlambatan dalam kemajuan karir mereka. Banyak dari mereka yang mengambil keputusan untuk menunggu sampai mereka merasa aman dan stabil dalam pekerjaannya.

“Sehingga tidak ada ancaman serius terhadap pendapatan mereka jika mereka mengambil cuti dari pekerjaan,” tutur Poh Lin. (ARH)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini