RADAR TANGSEL RATAS – Konflik bersenjata terbuka antara Israel dengan Hamas menbuat harga minyak mentah dunia kembali “mendidih”. Diprediksi, Indonesia berpotensi terkena dampak rembetan dari peningkatan harga bahan bakar tersebut.
Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, kondisi itu bisa memengaruhi ekonomi Tanah Air karena Indonesia merupakan negara net importir minyak. Dengan demikian, gejolak yang terjadi terhadap harga minyak bisa merembet ke tekanan inflasi.
“Dikaitkan dengan perang dan kenaikan harga komoditas dan energi itu memang tidak bisa dihindarkan, tentu saja ketika terjadi perang seringkali yang dimainkan harga minyak,” ungkap Andry dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, Selasa (10/10/2023).
Sebagai catatan, pada Senin (9/10/2023), harga minyak mentah WTI dibuka melejit 2,97% di posisi US$ 85,25 per barel, sedangkan minyak mentah brent dibuka melesat 2,21% ke posisi US$ 86,45 per barel.
Harga minyak Brent ditutup di posisi US$ 88,2 per barel atau terbang 4,28% sementara harga minyak WTI terbang 4,35% ke posisi US$ 86,38 per barel. Kondisi ini menurut Andry menjadi sinyal tekanan yang akan merembet ke Indonesia, termasuk APBN pemerintah.
“Kalau harga minyak nantinya lebih agresif naiknya dibanding kenaikan harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan CPO, sebagaiman kita ketahui kalau kenaikan harga minyak beri pressure ke fiskal, karena kita net importir,” tutur Andry.
Karena itu, menurut Andry, mau tidak mau inflasi akan berpotensi terkerek naik, ditambah potensi kenaikan harga pangan akibat efek kepanjangan dari fenomena iklim kering ekstrem seperti El Nino. Maka, antisipasi pengendalian harga ke depan menjadi semakin penting.
“Jadi perlu juga ada komitmen dengan negara-negara lain terutama yang penghasil beras untuk kita lock bukan hanya tahun ini untuk mereka tetap bisa ekspor di 2024 ke Indonesia, jadi kita bisa securing supply berasnya di tahun ini maupun tahun depan,” tutur Andry. (ARH)