Pengamat Nilai Tuduhan Miring Anggota Komisi VII DPR Terhadap TVRI Salah Besar, Berikut Ini Fakta yang Benar!

0
30

RATAS – Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin lalu, 02 Desember 2024, Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) mendapat berbagai tudingan miring dari wakil rakyat. Apalagi, TVRI tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab secara langsung mengingat jawaban harus diberikan tertulis beberapa hari kemudian.

Ini membuat kesan yang tertangkap publik bahwa tudingan itu benar adanya. Padahal, tudingan-tudingan miring tersebut salah besar karena tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Demikian diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik dari Institute Development of Policy And Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro. Kata Riko, dalam rapat dengar pendapat yang membahas program kerja LKBN Antara, TVRI dan RRI Tahun Anggaran 2025 itu, anggota Komisi VII DPR-RI tidak melihat fakta yang ada sebenarnya.

Khususnya, mengenai TVRI, imbuh dia. “Melihat TVRI, itu harus dari kacamata helikopter. Jangan secara parsial (kecil-kecil), apa yang membuat TVRI seolah susah maju. TVRI dituding mempunyai anggaran besar, tapi program jelek-jelek dan minim penonton,” ujarnya, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 12 Desember 2024.

Riko yang hadir di tribun atas saat RDP berlangsung, menjelaskan setelah melihat pemaparan TVRI. “Anggaran dari APBN Rp1,5 triliun setahun. Dari komposisi itu, Rp 900 miliar untuk bayar gaji pegawai dan dukungan manajemen. Berapa jumlah pegawainya TVRI? 5.000 orang. Itu bukan maunya TVRI punya pegawai sebanyak itu. Karena, secara teknis, pegawai TVRI adalah pegawai Kominfo yang ditugaskan di TVRI. Mau pecat pegawai agar sampai jumlah ideal? Ya minta Kominfo (sekarang Komdigi yang pecat). Itu bukan kewenangan TVRI,” paparnya.

BACA JUGA :  Anies Sebut Food Estate Sebagai Proyek Gagal, Mentan: Itu Bukan Untuk Diperdebatkan

Lalu, ia menerangkan, sisanya Rp 600 miliar untuk membayar operasional, program dan anggaran teknik untuk 3 stasiun (TVRI Nasional, TVRI Sport dan TVRI World ) serta, 32 stasiun penyiaran daerah. “ Untuk anggaran program yang saya lihat hanya Rp180 miliar setahun. Itu bisa untuk anggaran TV swasta sebulan,” cetusnya.

Ada anggata DPR yang mengatakan, gambar TVRI burem seperti banyak semut. “Artinya itu anggota tidak pernah menonton TVRI. Dalam era digital sekarang setelah analog switch off, sudah tidak ada lagi gambar semut. Yang ada sekarang ada gambar bening atau tidak ada gambar sama sekali. Era gambar semut adalah zaman analog,” ucap Riko.

Dari pengamatannya, dalam rapat dengar pendapat tersebut, hanya satu poin yang disampaikan anggota DPR Komisi VII, Arizal Tom Liwafa yang mendekati benar yaitu soal aplikasi yang masih ada bug. “TVRI ditegur karena soal aplikasi yang masih ada bug. Tapi, itu, kan, dikarenakan masih belum launching. Jadi wajar belum 100 persen,” tegasnya.

Tidak Apple to Apple

Kata pengamat ini, membandingkan TVRI dengan TV swasta tentu tidak dapat apple to apple. “Mana bisa TVRI bayar artis mahal? Mana bisa TVRI bayar hak siar bola, misalnya. Lalu, TVRI tidak pernah mengacu ke Nielsen. Karena, survei kepemirsaan Nielsen hanya di 11 kota besar. Padahal, jangkauan TVRI sampai ke pelosok. Pemancar digital TVRI ada 200 pemancar. TV swasta paling 15 – 50 pemancar “ jelasnya.

Akibatnya, industri media/periklanan tidak ada yang bersedia ke TVRI karena tidak diukur oleh Nielsen, tukas Riko. Dia pun menegaskan, membandingkan TVRI dengan TV swasta itu juga sudah salah kaprah.

BACA JUGA :  Nah Loh! Kemendagri Sebut IKD Tak Serta Merta Gantikan Fungsi e-KTP! Maksudnya?

“TVRI adalah TV publik. Dia tidak buat sinetron, silet, gibah infotainment. Adanya adalah program kepublikan yang pasti menurut orang-orang yang biasa nonton sinetron TV swasta dianggap membosankan,” ungkapnya.

DPR harusnya mendorong penguatan LPP TVRI

Ditandaskan pengamat ini, seharusnya dan sepatutnya, DPR ikut mendorong penguatan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI, LKBN Antara dan RRI melalui dorongan kebijakan anggaran maupun kelembagaan. Mengapa demikian?

“Karena, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) ini memainkan peran strategis, yakni penguatan nasionalisme dan ketahanan nasional. Peran itu menjadi DNA-nya LPP, mulai RRI, LKBN Antara atau pun TVRI. Pada konteks ini sepatutnya anggota DPR ikut memahami sehingga sadar pola kerja LPP menjadi unik. Ada tugas khusus yang tidak dimiliki lembaga penyiaran swasta lain,” ia menerangkan.

“Ini, kan, di satu sisi TVRI disuruh bersaing secara komersial dengan swasta. Tapi, kakinya diikat karena secara kelembagaan banyak aturan yang membuatnya tidak bisa bergerak secara leluasa,“ ulasnya.

Jadi Mitra Daerah

Hal lain yang perlu juga diperhatikan, tukas Riko, adalah keberpihakan pemerintah daerah terhadap LPP. “Sebaiknya LPP TVRI, RRI, LKBN Antara dijadikan mitra pemerintah daerah. Agar, dorongan perannya semakin kuat. TVRI, kan, memiliki stasiun-stasiun daerah di setiap provinsi. Sambil kemudian LPP berupaya bertranformasi sesuai tantangan zaman,” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno saat dikonfirmasi membenarkan semua apa yang diungkapkan pengamat tersebut. Ia menambahkan, tugas utama TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya.

BACA JUGA :  Komisi III DPR Minta Kapolri Pecat Polisi yang Jadi Beking Usaha Judi

Lebih lanjut, Iman menjelaskan bahwa banyak kalangan sering membandingkan konten TVRI yang dianggap kurang menarik minat masyarakat jika dibanding TV swasta. “Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI dapat dikatakan memperoleh kepemirsaan yang sangat kecil dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta dengan merujuk angka kepemirsaan yang rendah,” tukasnya.

Jika berkaca pada Nielsen, program-program yang disukai masyarakat adalah drama sinetron dan program infotainment, tandasnya. “Apakah TVRI harus membuat program seperti swasta? TVRI tidak harus bersaing dengan TV swasta karena konsep dan karakteristik media penyiaran publik sangat berbeda. Penyiaran publik adalah penyiaran yang dimiliki negara, pemerintah, organisasi publik sebagai tandingan swasta,” urainya.

Penyiaran ini di dalamnya ada “pelayanan publik” berupa penyebarluasan program kepentingan dan minat publik seperti pendidikan, budaya dan informasi yang membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, terang Iman. “Konsep yang digunakan adalah audience as public, bukan sebagai konsumen. Khalayak sebagai warga negara harus dididik, diberi informasi sekaligus dihibur. Dengan kata lain, publik harus dilayani sehingga mereka bisa menampilkan hak dan tugasnya secara demokratis. Dalam konteks ini, TV publik tidak berkepentingan dengan hedonisme konsumen (penyiaran komersial),” terang Iman.

“Berbeda dengan TV swasta yang memandang konsep khalayak sebagai audience as market. Karena itu, kalau masyarakatnya banyak tidak peduli dengan budaya, maka tidak heran jika rating TVRI tidak begitu tinggi dibanding stasiun TV lain yang mengusung sinetron, misalnya,” pungkas Iman. (AGS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini