Penyidikan Kasus Pengelolaan Sampah Kota Tangerang Selatan Terus Berlanjut, Kejati Banten Telusuri Aliran Korupsi
RATAS – Kasus pengelolaan sampah Kota Tangerang Selatan yang tengah diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten belum menunjukkan titik terang. Hingga kini, empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yang melibatkan satu pengusaha dan tiga Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLH) Kota Tangerang Selatan.
Pelaksana Harian Asisten Intelijen Kejati Banten, Aditya Rakatama, mengungkapkan bahwa tim penyidik masih terus mendalami kasus ini. “Tim Penyidik masih melakukan pendalaman,” ungkapnya pada Rabu (23/4/2025) lalu
Tersangka pertama adalah SYM, Direktur PT EPP, yang diduga bersekongkol untuk mengurus Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) agar memenuhi persyaratan pengelolaan sampah. SYM diduga bekerja sama dengan WL, Kepala DLH Kota Tangerang Selatan, yang memuluskan PT EPP untuk menjadi penyedia barang dan jasa dalam pekerjaan layanan jasa pengangkutan dan pengelolaan sampah dengan nilai kontrak sebesar Rp 75.940.700.000,00. Kontrak tersebut terdiri dari dua pekerjaan, yaitu jasa layanan pengangkutan sampah senilai Rp 50.723.200.000,00 dan jasa layanan pengelolaan sampah senilai Rp 25.217.500.000,00. Namun, PT EPP diduga kuat tidak melaksanakan pekerjaan pengelolaan sampah sesuai kontrak.
Tersangka ketiga adalah TAKP, Kepala Bidang Kebersihan DLH Tangsel, yang terindikasi lalai dalam melakukan pengawasan. Tersangka keempat adalah ZY, mantan staf DLH Tangsel, yang diduga terlibat dalam penentuan titik lokasi tempat pembuangan sampah yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Selain itu, ZY juga diduga menerima uang bancakan sebesar Rp 15 miliar dari PT EPP, yang ditransfer ke tiga nomor rekening pribadinya.
Rakatama menegaskan bahwa tim penyidik masih mendalami aliran uang korupsi tersebut. “Kami masih menelusuri aliran penggunaan uang sebesar Rp 15 miliar itu,” tegasnya.
Keempat tersangka dijerat dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sebelumnya, pegiat anti-korupsi dan pengurus badan koordinasi Tangerang Raya (Bakortara ) Zibi Wiryanto SE, menyoroti peran Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Tangerang Selatan yang juga harus diperiksa dalam kaitannya dengan proyek pengangkutan dan pengelolaan sampah senilai Rp 75 miliar ini. Zibi mengungkapkan bahwa Feasibility Study dan sosialisasi proyek tersebut tidak ada, namun tetap menjadi prioritas tanpa prosedur yang jelas. “Sekda harus dipanggil dan dimintai keterangan, karena sebagai Ketua Panitia Anggaran Daerah Kota Tangerang Selatan, dia harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Zibi juga menegaskan bahwa tidak hanya Kadis, Kabid, dan mantan Kasie DLH serta pihak swasta yang terlibat dalam kasus ini yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, aktor intelektual di balik skema korupsi tersebut juga harus diperiksa. “Aliran uang korupsi ini harus ditelusuri lebih jauh, baik yang menerima maupun yang menolak uang tersebut,” tegasnya.
Zibi meminta agar eksekutif, pimpinan birokrasi, serta legislatif Kota Tangerang Selatan dipanggil dan dimintai keterangannya terkait dugaan keterlibatannya. “Jika terbukti terlibat, mereka harus ditahan. Jika tidak terbukti, mereka bisa menjadi saksi di pengadilan nanti,” pungkasnya.
Zibi juga menekankan pentingnya keterbukaan dalam menangani kasus ini. “Kejati Provinsi Banten diharapkan dapat lebih terbuka dan tidak setengah-setengah dalam membuka persoalan kasus korupsi pengelolaan sampah di Kota Tangerang Selatan,” ujar Zibi Wiryanto SE