RATAS – Forum Purnawirawan TNI mengancam akan menduduki Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI jika surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak direspons oleh lembaga negara. Pernyataan itu disampaikan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, dalam konferensi pers di Hotel Arion Suites, Kemang, Jakarta, Rabu (3/7/2025).
“Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, nggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa. Kita duduki MPR Senayan sana. Oleh karena itu, saya minta siapkan kekuatan,” kata Slamet.
Forum Purnawirawan TNI menyuarakan dorongan agar MPR memproses pemakzulan Gibran karena menilai keterpilihannya sebagai wakil presiden merupakan hasil dari konsensus politik yang dipaksakan dan bertentangan dengan prinsip demokrasi serta keadilan elektoral.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, yang juga tergabung dalam forum tersebut, menyesalkan adanya purnawirawan lain yang justru mengkritik langkah mereka.
“Padahal kita sumbernya sama, digodok di tempat yang sama. Tapi begitu kita ngomong yang benar, sana bilang itu di luar formasi kita,” ujar Hanafie. Ia menyebut, saat ini memang muncul perbedaan posisi di kalangan purnawirawan, antara yang mempertahankan status quo dan yang mendorong perubahan.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa Forum Purnawirawan TNI tetap tegak lurus pada Sapta Marga dan berpijak pada politik kenegaraan, bukan politik kekuasaan.
“Kalau ditanya, ya kita garis lurus sama Sapta Marga Prajurit. Dan politik kita adalah politik kenegaraan, bukan kekuasaan,” tegasnya.
Secara hukum, mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan jika pejabat yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
Dengan demikian, pemakzulan tidak dapat dilakukan semata-mata atas dasar tekanan politik, melainkan harus berdasarkan proses hukum yang sah dan terukur.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, menilai wacana pemakzulan Gibran harus dilandasi proses hukum yang jelas. Menurutnya, jalur konstitusional yang dapat ditempuh adalah melalui pembentukan panitia angket di DPR atau pengajuan gugatan ke PTUN atas dugaan pelanggaran administratif saat pencalonan.
“Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik,” ujar Yance.
Ia menegaskan bahwa pemakzulan hanya sah jika diawali oleh fondasi legal yang kuat dan tidak dapat dilakukan secara serampangan. (HDS)