RATAS — Nama Tina Astari, istri Menteri UKM Maman Abdurrahman, menjadi sorotan publik usai beredarnya surat resmi dari Kementerian UMKM yang menunjukkan permintaan dukungan fasilitas negara untuk kegiatan pribadi bertajuk “Misi Budaya” ke Eropa.
Surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025, tertanggal 30 Juni 2025, ditandatangani oleh Sekretaris Kementerian Arif Rahman Hakim. Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa Tina—yang juga dikenal dengan nama Agustina Hastarini—akan melakukan perjalanan ke tujuh negara Eropa selama 14 hari, yakni ke Turki, Bulgaria, Belanda, Belgia, Prancis, Swiss, dan Italia.
Pihak Kementerian UMKM meminta dukungan dan pendampingan penuh dari berbagai kantor perwakilan RI di luar negeri, seperti KBRI Paris, Roma, Den Haag, hingga KJRI Istanbul, untuk mendampingi agenda tersebut. Tembusan surat juga dikirimkan ke Menteri UMKM serta ke Direktorat Eropa I dan II Kementerian Luar Negeri.
Sorotan publik muncul karena Tina Astari bukanlah pejabat struktural, pegawai negeri, ataupun pejabat negara. Meski aktif di organisasi Dharma Wanita, perannya bukan dalam kapasitas birokratis formal.
Warganet mempertanyakan dasar legalitas dan urgensi kegiatan ini. Tidak ada penjelasan rinci soal bentuk kegiatan yang disebut sebagai “misi budaya”, maupun kaitannya dengan tugas dan fungsi Kementerian Koperasi dan UKM.
“Istri menteri itu bukan pejabat negara. Apa dasar hukumnya sampai bisa minta difasilitasi oleh KBRI dan KJRI?” tulis salah satu netizen di platform X.
Beberapa warganet bahkan menyebut langkah tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan “aji mumpung”, karena melibatkan struktur kementerian untuk agenda pribadi yang tidak memiliki relevansi jelas terhadap kebijakan publik.
“Urusan Dharma Wanita ya cukup di dalam negeri saja, Bu. Jangan bungkus jalan-jalan dengan embel-embel misi budaya pakai fasilitas negara,” tulis pengguna lainnya.
Penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan pribadi atau keluarga pejabat, meski dibungkus dalam bentuk surat resmi, menimbulkan kekhawatiran publik terhadap batas etika pemerintahan.
Menurut pakar tata kelola pemerintahan, meskipun surat semacam ini tidak otomatis menyerap anggaran, penggunaan jejaring diplomatik untuk kepentingan non-pejabat tetap melanggar prinsip profesionalitas birokrasi dan transparansi.
Surat tersebut tidak menyebutkan anggaran yang digunakan atau pihak yang membiayai perjalanan, sehingga publik bertanya-tanya: apakah perjalanan ini menggunakan dana pribadi, anggaran kementerian, atau dukungan sponsor yang tidak disebutkan?
Hingga berita ini ditulis, pihak Kementerian UMKM belum mengeluarkan klarifikasi resmi terkait polemik ini. Namun, gelombang kritik terus mengalir, menuntut penjelasan dan penegakan etika dalam penggunaan fasilitas publik oleh keluarga pejabat. (HDS)