Rugikan Negara Rp 451,6 Miliar, Anak Usaha PT Pertamina Diperiksa Polri

4
113
PT Pertamina Patra Niaga adalah anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan olahan minyak bumi. Perusahaan ini memiliki lima kantor regional dan mengelola puluhan depot minyak milik Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam perjanjian jual beli BBM nontunai yang melibatkan anak usaha PT Pertamina (Persero), yakni PT Pertamina Patra Niaga (PNN) dengan PT Askim Koalindo Tuhup.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin, menyebutkan status kasus tersebut sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke tahap penyidikan.

“Setelah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dari pihak terkait dan ahli-ahli, kasus ini dinaikkan menjadi penyidikan,” kata Dedi, seperti yang dikutip ANTARA (22/8).

Kasus dugaan korupsi tersebut terjadi rentang tahun 2009 sampai dengan 2012 diduga kerugian negara yang ditimbulkan sekitar Rp 451,6 miliar.

Dedi mengatakan para periode 2009-2012 PT PPN melakukan perjanjian jual beli bahan bakar minyak (BBM) secara nontunai dengan PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) yang ditandatangani oleh Direktur Pemasaran PT PPN dengan Direktur PT AKT.

Adapun proses pelaksanaan kontrak sebagai berikut, lanjut Dedi, yakni tahun 2009-2010 dengan volume 1.500 kiloliter (kl) per bulan. Kemudian tahun 2010-2011 PT PPN menambah volume pengiriman menjadi 6.000 kl per bulan (Addendum I). Selanjutnya tahun 2011-2012 PT PPN menaikkan volume menjadi 7.500 kl per pemesanan (Addendum II).

BACA JUGA :  Merasa Puas, Filipina Kembali Pesan Enam Pesawat NC212i Produksi PTDI

Ia menyebutkan ada proses pelaksanaan perjanjian PT PPN dalam tahap pengeluaran BBM. Direktur Pemasaran PT PPN melanggar batas kewenangan atau otorisasi untuk penandatangan kontrak jual beli BBM yang nilainya di atas Rp 50 miliar berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama PT Patra Niaga Nomor: 056/PN000.201/KPTS/2008 Tanggal 11 Agustus 2008 tentang Pelimpahan Wewenang, Tanggung Jawab, dan Otorisasi.

Kemudian, lanjut Dedi, PT AKT tidak melakukan pembayaran sejak tanggal 14 Januari 2011-31 Juli 2012 dengan jumlah sebesar Rp19,’7 miliar dan 4,73 juta dolar AS atau senilai Rp 451,66 miliar.

Dedi mengatakan Direksi PT PPN tidak melakukan pemutusan kontrak terhadap penjualan BBM nontunai kepada PT AKT yang tidak melakukan pembayaran BBM yang dikirimkan dan Direksi PT PPN tidak ada upaya untuk melakukan penagihan.

“Tidak adanya jaminan (colateral) berupa bank garansi atau SKBDN dalam proses penjualan BBM nontunai sehingga PT PPN mengalami kerugian saat PT AKT tidak melakukan pembayaran terhadap BBM yang telah diterimanya sejak tahun 2009-2012,” ujarnya.

BACA JUGA :  Golkar Bentuk Tim Teknis dengan PDIP untuk Bahas Cawapres, Kabinet, dan Parlemen

Dia menjabarkan berdasarkan data rekonsiliasi verifikasi tagihan kreditur pada proses PKPU No. 07/PDT.SUS-PKPU/2016/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 4 April 2016, BBM yang belum dibayar PT AKT kepada PT PPN sebesar Rp 451,6 miliar.

Merujuk pada data yang disiapkan akuntansi utang piutang PT PPN diketahui volume BBM jenis solar yang sudah terkirim ke PT AKT keseluruhannya adalah 154.274.946 liter atau senilai Rp278,6 miliar atau 102,6 juta dolar AS.

“Berdasarkan hasil penyelidikan terdapat dugaan penerimaan uang oleh pejabat PT PPN yang terlibat dalam proses perjanjian penjualan BBM nontunai antara PT PPN dengan PT AKT pada periode saat terjadinya proses penjualan BBM tersebut,” kata Dedi.

Dedi menambahkan, berdasarkan hasil penyelidikan tersebut terdapat indikasi kerugian negara yang dihitung berdasarkan jumlah BBM yang dikeluarkan PT Pertamina Patra Niaga kepada PT Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) sesuai dengan kontrak dan Addendum I dan II yang belum dilakukan pembayaran sehingga menjadi kerugian negara sebesar Rp451,6 miliar.

“Penyidik melakukan langkah-langkah selanjutnya dengan membuat rencana penyidikan, melakukan koordinasi dengan pihak terkait, dan melakukan ‘profiling’ pihak-pihak yang diduga terlibat guna ‘asset recovery’,” kata Dedi. (BD)

BACA JUGA :  Waduh! Biaya Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Membengkak, Pemerintah Didorong Harus Lebih Aktif Bernegosiasi

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini