RADAR TANGSEL RATAS – Negara adidaya Amerika Serikat (AS) terancam default atau gagal membayar utangnya. Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen, beberapa waktu lalu.
Jika hal itu benar-benar terjadi, maka akan menjadi bencana untuk perekonomian AS. Akan timbul banyak pengangguran, suku bunga yang tinggi sehingga membuat cicilan kredit semakin melambung.
Sementara itu, jumlah utang Indonesia hingga akhir Maret 2023 lalu telah mencapai Rp 7.879 triliun, naik Rp 17,39 triliun dari bulan sebelumnya. Lalu, apakah kondisi Indonesia akan sama dengan situasi yang sedang menghantui AS tadi?
Seperti yang dilansir Suara.com (9/5/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tampak santai menanggapi soal besarnya utang RI. Ia mengatakan pemerintah berkomitmen akan tetap menggunakan prinsip kehati-hatian dalam pengadaan utang negara.
“Pengadaan utang tetap prinsip kehati-hatian dengan kondisi pasar dan kas pemerintah yang saat ini cukup tinggi,” kata Sri Mulyani dalam konfrensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Selasa (9/5/2023).
Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, kebutuhan pembiayaan utang hingga bulan April dan Mei 2023 masih cukup tersedia, sehingga tidak perlu dikawatirkan.
“Juga kebutuhan pembiayaan posisi hingga April dan Mei masih cukup ample di tengah dinamika perekonomian global yang tidak pasti,” ungkapnya.
Selain itu, Sri Mulyani juga menyebut kinerja APBN hingga saat ini berjalan dengan baik dan positif. “APBN tetap dikelola dengan hati-hati dan konservatif, dengan memberikan ruang bagi shock absorber kinerja APBN sesuai target. Meskipun komoditas dalam tren moderasi. Kita tetap antisipasi lewat APBN,” tuturnya.
Sebagai informasi, sampai akhir Maret APBN masih mengalami surplus Rp 128,5 triliun. Pendapatan negara tumbuh 26,3 persen atau senilai Rp 647,2 triliun.
Secara keseluruhan belanja negara juga tumbuh Rp 518,7 triliun atau 16,9 persen. Di sisi lain, keseimbangan primer juga surplus Rp 228,8 triliun. (BD)