RADAR TANGSEL RATAS – Baru-baru ini, Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik keras Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang mantan narapidana korupsi yang diizinkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan ketentuan yang tertuang dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui dua aturan itu, kata Kurnia, KPU menafikan aturan MK mengenai jeda lima tahun, sepanjang vonis pengadilan telah mencantumkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik sang koruptor.
“Ketentuan itu tercantum sebenarnya di dalam PKPU. Namun, kalau teman-teman mencermati lebih detail, tiba-tiba ada pengecualian yang ditulis, dibahas, diundangkan dalam dua PKPU itu. Apa syarat pengecualiannya? Masa jeda waktu lima tahun tidak berlaku sepanjang atau ketika terpidana korupsi dijatuhi pidana tambahan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengenai pencabutan hak politik. Jadi itu sumber persoalannya,” papar Kurnia Ramadhana dalam Konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil, Senin (22/5), di kanal YouTube Sahabat ICW.
“Tidak salah kalau kita katakan, PKPU yang dihasilkan oleh KPU berpihak pada koruptor karena justru memberikan kesempatan, memberikan karpet merah kepada pelaku korupsi, silakan gunakan hukuman tambahan pencabutan hak politik kemudian Anda bisa langsung mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif baik DPR maupun DPD RI,” kata Kurnia.
Dalam catatan ICW sepanjang 2021 setidaknya ada 55 terdakwa kasus korupsi yang berasal dari klaster politik. Dari jumlah itu 31 di antaranya dijatuhi vonis tambahan pencabutan hak politik yang rata-rata selama 3,5 tahun di bawah vonis maksimal selama lima tahun.
Dengan demikian, Kurnia menegaskan bahwa KPU telah melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan calon anggota legislatif dan DPD yang berintegritas.
Menanggapi kritikan tersebut, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menyebut pihaknya tidak menyelundupkan pasal apapun.
“Itu bukan ngarang-ngarang KPU dan bukan penyelundupan pasal, karena sesungguhnya ketentuan itu kami ambil dari pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi,” tuturnya di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023).
Hasyim kemudian memberi contoh perhitungan soal masa jeda bagi mantan terpidana untuk bisa nyaleg. Selain itu, Hasyim juga menjelaskan soal hitungan masa pencabutan hak politik.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi di dalam putusan MK tersebut, kata Hasyim, kalau ada orang pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan kemudian pada waktu itu berdasarkan putusan pengadilan dikenai tambahan berupa pencabutan hak politik, maka pemberlakuan jeda 5 tahun menjadi tidak berlaku, karena sudah dibebani sanksi berupa dicabut hak politiknya.
“Jadi sebagai simulasi, misalkan kalau kemarin pendaftaran bakal calon 1-14 Mei 2023 kalau kita tarik mundur 5 tahun berarti kan Mei 2018 ya, jadi kalau ada orang bebas murninya itu 14 Mei 2018 masih dapat memenuhi syarat sebagai bakal calon, tapi kalau bebas murninya itu setelah 14 Mei 2018 misal Januari 2019 berarti belum genap 5 tahun belum bisa mencalonkan,” tutur Hasyim.
“Atau misalkan ada orang kena pidana dan selesai menjalani pidananya itu status sebagai mantan terpidana pada bulan Januari 2020 misalkan dan kena tambahan pidana berupa pencabutan hak politik 2 tahun, hak politik dalam arti tidak bisa dicalonkan selama 2 tahun, 2 tahun itu setelah selesai menjalani pidana. Kalau selesai menjalani pidananya Januari 2020 ditambah 2 tahun berarti kan sampai Januari 2022 itu menurut MK sudah cukup, tidak perlu ditambahkan masa jedanya 5 tahun,” Hasyim menambahkan. (BD)
This paragraph is really a nice one it helps new the web people,
who are wishing for blogging.