RADAR TANGSEL RATAS – Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan semua gugatan yang diajukan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Gugatan tersebut terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun dan syarat minimal menjadi Pimpinan KPK agar tak lagi berusia 50 tahun.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, menjelaskan bahwa berlakunya putusan MK atas gugatan Nurul Ghufron itu adalah mulai dari pimpinan KPK saat ini.
“Sebagaimana diatur dalam UU MK, putusan berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan,” ujar Fajar kepada wartawan, Jumat (26/5/2023).
Lebih lanjut, Fajar menuturkan bahwa pertimbangan mengenai keberlakuan Putusan 112/PUU-XX/2022 bagi Pimpinan KPK saat ini ada dalam Pertimbangan Paragraf [3.17] halaman 117.
“Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. MK menyegerakan memutus perkara ini agar Putusan memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan bagi Pemohon khususnya dan keseluruhan Pimpinan KPK saat ini,” tutur Fajar.
Karena itu, Fajar menegaskan putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK berlaku mulai era Firli cs saat ini. Dia mengatakan masa jabatan Firli cs diperpanjang hingga 2024.
“Pimpinan KPK yang saat ini menjabat dengan masa jabatan 4 tahun, dan akan berakhir pada Desember 2023 diperpanjang masa jabatannya selama 1 tahun ke depan hingga genap menjadi 5 tahun masa jabatannya sesuai dengan Putusan MK ini,” kata Fajar.
Putusan ini, kata Fajar, tidak hanya berlaku untuk pimpinan KPK saja, tapi juga untuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK. “Menurut Putusan 112/PUU-XX/2022, perubahan masa jabatan menjadi 5 tahun juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK yang saat ini menjabat dari semula masa jabatannya 4 tahun,” ungkap Fajar.
Menanggapi putusan MK tersebut, Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah akan mendalami putusan itu. “Saya belum sempat membaca putusannya. Nanti pemerintah akan menyikapi setelah mendalami vonisnya,” kata Mahfud kepada wartawan, Jumat (26/5/2023).
Mahfud juga mengatakan pemerintah akan mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Mantan Ketua MK ini enggan mengomentari lebih lanjut putusan MK tersebut.
“Mendengar berbagai pendapat. Ada pakar yang usul agar kita bertanya kepada MK tentang vonis itu. Kita belum mempertimbangkan usul itu karena MK tidak pernah memberi penjelasan resmi tentang vonisnya. Bahkan MK tidak pernah juga memberi fatwa,” tuturnya.
Mahfud mengatakan putusan MK secara filosofis sudah jelas dan tak perlu penjelasan resmi. Meski demikian, dia mengaku akan melihat perkembangan lebih lanjut terkait putusan itu.
“Filosofinya vonis MK sudah jelas dan tak perlu penjelasan resmi. Kita lihat saja perkembangannya. Sebab, kalau dilihat dari polemik di media, tampaknya vonisnya memang menimbulkan tafsir yang tidak tunggal,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Indonesia Memanggil atau IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha melihat ada keanehan pada proses pengajuan dan argumentasi dalam gugatan masa jabatan pimpinan KPK. Menurutnya, ada sesuatu yang dipaksakan dari pengajuan tersebut sehingga wajar apabila muncul banyak pertanyaan dari publik.
Seperti yang dilansir Tempo.co (26/5/2023), Praswad menegaskan bahwa apabila putusan MK tersebut diterapkan untuk masa kepemimpinan periode saat ini, maka ada potensi besar KPK akan digunakan untuk kepentingan politik 2024.
“Menyeret KPK ke dalam kepentingan politik, menjadikan KPK alat gebuk politik, sama dengan membunuh anak kandung reformasi, sama dengan membunuh harapan seluruh tumpah darah indonesia untuk bisa menikmati negara yang bebas dari tindak pidana korupsi,” tutur Praswad.
Ia juga membeberkan sejumlah keganjilan dalam proses permohonan gugatan. Menurutnya, judicial review tersebut sarat kepentingan pribadi. Bahkan ia mengaku sejak awal melihat proses judicial review itu dilakukan tanpa adanya dimensi kepentingan publik, terlebih pemberantasan korupsi.
Karena itu, Praswad menegaskan apabila praktik tersebut dibiarkan, maka akan berpotensi merusak demokrasi dan nilai utama dari antikorupsi. Pasalnya, ia yakin proses tersebut terindikasi penuh konflik kepentingan.
Lebih lanjut, Praswad mengatakan putusan MK tersebut seharusnya tidak berlaku untuk periode kepemimpinan saat ini. Ia juga menegaskan jangan sampai periode ini menjadi contoh buruk penggunaan lembaga antikorupsi untuk kepentingan pribadi. (BD)