Gawat! Suhu di Permukaan Bumi Semakin Panas, 75 Persen Gletser Himalaya Diprediksi Mencair Pada Tahun 2100

0
59
Ilmuwan memperingatkan gletser pegunungan Himalaya yang menyediakan air bagi hampir dua miliar orang, telah mencair lebih cepat daripada sebelumnya sebagai dampak dari perubahan iklim. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Pemanasan global makin nyata. Gletser di Hindu Kush Himalaya diprediksi akan kehilangan 75 persen es-nya pada akhir abad ini akibat pemanasan global. Dampak yang terjadi dari mencairnya es tersebut adalah banjir serta ancaman kekurangan air.

Seperti yang dilansir Japan Today, sekelompok ilmuwan internasional telah menemukan kemungkinan bahwa wilayah puncak Everest dan K2 yang terkenal akan semakin cepat kehilangan banyak es.

Menurut International Center for Integrated Mountain Development (ICIMOD) yang berbasis di Kathmandu, percepatan tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2010-an. Pada periode tersebut, gletser menumpahkan es sebanyak 65 persen lebih cepat dibandingkan beberapa dekade sebelumnya.

“Kita kehilangan gletser dan kita akan kehilangan hal itu dalam waktu 100 tahun,” ujar Philippus Wester, seorang ilmuwan lingkungan dan rekan ICIMOD yang merupakan penulis utama laporan tersebut.

Sebagaimana diketahui bersama, pegunungan Hindu Kush Himalaya membentang sepanjang 3.500 km, melintasi Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, Cina, India, Myanmar, Nepal dan Pakistan.

Lalu, pada pemanasan di atas suhu pra-industri, yakni sebesar 1,5 derajat Celcius atau 2 derajat celcius, gletser di seluruh wilayah tersebut akan kehilangan 30% hingga 50% volumenya pada tahun 2100, kata laporan tersebut.

BACA JUGA :  Kasus Korupsi di Kemnaker, KPK: Besok Cak Imin Dipanggil Sebagai Saksi

Pada pemanasan sekitar 3 derajat Celcius, yang secara kasar merupakan prediksi peningkatan suhu dunia berdasarkan kebijakan iklim saat ini, hal itu akan berdampak ke gletser di Himalaya Timur yang meliputi Nepal dan Bhutan. Daerah tersebut akan kehilangan hingga 75% esnya.

Sedangkan, jika terjadi pemanasan 4 derajat celcius, dampaknya meningkat hingga 80%. Tapi, di mana gletser akan mencair paling banyak itu masih tidak menentu.

Para ilmuwan telah berjuang untuk menilai bagaimana perubahan iklim mempengaruhi Hindu Kush Himalaya. Tidak seperti Pegunungan Alpen Eropa dan Pegunungan Rocky di Amerika Utara, wilayah ini tidak memiliki catatan sejarah panjang tentang pengukuran lapangan yang mengungkapkan apakah gletser tumbuh atau menyusut.

“Selalu ada ketidakpastian di Himalaya, apakah gletser benar-benar mencair?” kata Wester.

Di sisi lain, pada tahun 2019, Amerika Serikat mendeklasifikasi citra satelit mata-mata dari gletser di Hindu Kush Himalaya yang berasal dari tahun 1970. Hasil tersebut memberikan dasar ilmiah yang baru.

Kemajuan lebih lanjut dalam teknologi satelit dalam lima tahun terakhir, di samping upaya-upaya di lapangan, telah meningkatkan pemahaman para ilmuwan tentang perubahan yang sedang terjadi. Laporan ini mengacu pada data yang berjalan hingga Desember 2022.

BACA JUGA :  Akhirnya Kejaksaan Agung Tetapkan Menkominfo Johnny G Plate Sebagai Tersangka Kasus Korupsi BTS!

“Meskipun pengetahuan tentang gletser Himalaya masih belum sebaik Pegunungan Alpen, namun sekarang sudah sebanding dengan wilayah lain seperti Andes,” kata Tobias Bolch, ahli glasiologi dari Universitas Teknologi Graz di Austria yang tidak terafiliasi dengan laporan tersebut.

Menurut penilaian ICIMOD pada tahun 2019 di wilayah Himalaya, saat ini tingkat pemahaman dalam penelitian kawasan tersebut sudah berkembang lebih baik. “Kami memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kerugian yang akan terjadi hingga tahun 2100 pada berbagai tingkat pemanasan global,” ungkap Wester.

Dengan pemahaman yang baru ditemukan itu, muncul keprihatinan besar bagi orang-orang yang tinggal di Hindu Kush Himalaya. Laporan tersebut menemukan bahwa aliran air di 12 daerah aliran sungai di wilayah tersebut, termasuk Sungai Gangga, Indus, dan Mekong, kemungkinan besar akan mencapai puncaknya pada pertengahan abad ini. Hal tersebut akan berpengaruh ke lebih dari 1,6 miliar orang yang bergantung pada pasokan air.

“Meskipun mungkin terdengar bahwa kita akan memiliki lebih banyak air karena gletser mencair dengan lebih cepat. Tapi air akan sering muncul sebagai banjir, bukannya sebagai aliran yang stabil,” kata Wester.

Banyak masyarakat di pegunungan tinggi menggunakan air glasial dan pencairan salju untuk mengairi tanaman. Tapi, waktu turunnya salju di masa depan menjadi lebih tidak menentu. Jumlah turunnya salju diprediksi akan lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.

BACA JUGA :  Jawa Timur Miliki 1.490 Desa Mandiri, Terbanyak Se-Indonesia

“Kami telah mengalami sejumlah besar kematian yak (sejenis sapi di Himalaya) karena selama musim panas mereka pergi ke padang rumput yang lebih tinggi,” kata salah satu penulis laporan, Amina Maharjan, seorang spesialis senior di bidang mata pencaharian dan migrasi di ICIMOD.

Ia menjelaskan, jika salju turun terlalu cepat, seluruh area akan tertutup salju dan mereka tidak memiliki rumput untuk dimakan. “Selain itu, orang-orang di kawasan tersebut juga sudah banyak yang pindah dari komunitas pegunungan untuk mendapatkan penghasilan di tempat lain,” katanya.

Gletser yang mencair juga menimbulkan bahaya bagi masyarakat hilir. Misalnya jika ada aliran air yang meluap, menerobos penghalang alaminya dan mengirimkan air yang mengalir deras ke lembah-lembah gunung.

Dikabarkan pula, pemerintah sedang berusaha untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan ini. China misalnya, sedang berupaya menopang persediaan air di negara tersebut. Sedangkan Pakistan memasang sistem peringatan dini untuk banjir luapan dari danau glasial yang mungkin terjadi. (ARH)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini