Geger, “Kasus Meikarta Jilid II” Muncul di Pluit, Uang Konsumen Hangus dan Haknya Dirampas, Anggota DPR Sebut Pengembang Apartemen PSV Zalim

0
245

RADAR TANGSEL RATAS – Masih belum hilang dari ingatan publik, “kasus Meikarta” yaitu para konsumen “gigit jari” alias tidak kunjung mendapatkan unit apartemen yang dibeli, padahal uang sudah disetor/dibayarkan ke pengembang. Kini, kasus serupa muncul lagi.

“Kasus Meikarta Jilid II” terjadi di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Dan, kasus ini pun mulai membuat “geger” publik.

Para konsumen yang sudah menyetor uang muka dan membayar cicilan unit selama bertahun-tahun ke pengembang Apartemen Pluit Sea View (PSV) di bawah bendera PT. Binakarya Jaya Abadi Tbk terpaksa harus menelan “pil pahit”. Karena, unit apartemen yang dijanjikan akan dapat ditempati pada tahun 2016, tidak juga diserahkan sampai sekarang.

Sadisnya lagi, beberapa konsumen haknya dirampas dan uang pembayaran ratusan juta hangus. Hal itu diungkapkan salah satu korban, Ernawati.

“Saya ingin sampaikan permasalahan developer (pengembang) yang merampas hak saya atas apartemen yang sudah saya beli. Apartemen saya beli dengan cara 30 persen uang muka disetorkan ke developer, sisanya 70 persen Kredit Kepemilikan Aparteman (KPA),” ujar Ernawati dalam keterangan tertulisnya, kepada awak redaksi Kantor Berita ratas.id RADAR TANGSEL, Rabu, 12 Juli 2023.

Kronologi Kasus

Ernawati pun menjelaskan kronologi kasus ini. “Pada tahun 2014, saya bayar uang muka lalu melakukan cicilan kredit Apartemen PSV (untuk korban yang lain ada yang sudah mulai tahun 2012). Nah, di Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) tertulis, serah terima akan dilakukan Maret 2016. Tapi, karena belum serah terima, saya lapor ke Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK),” ucapnya.

Lanjutnya, dalam kesepakatan di sidang BPSK, pihak developer mengatakan akan melakukan serah terima pada 31 Januari 2019. “Saya sampaikan di BPSK, bila tidak ada serah terima pada 31 Januari 2019, saya minta developer refund (kembalikan uang saya). Di BPSK, developer pun mengeluarkan surat kesanggupan serah terima yang ditandatangani Asisten CEO, Santoso Angwar,” ungkapnya.  

Namun, faktanya, sambung Ernawati, pihak developer ingkar janji. “Pada 31 Januari 2019 tidak ada serah terima unit.  Maka, saya gugat perdata ke pengadilan pada Maret 2019  untuk minta refund karena Binakarya Jaya Abadi (perusahaan developer Apartemen PSV) sudah wanprestasi,” urainya.

Di pengadilan, terangnya, saat tahap sidang mediasi, pihak developer mengakui adanya keterlambatan dan berjanji akan melakukan serah terima unit pada Juli 2020. “Tapi, saya tolak mediasianya. Kenapa? Karena, serah terimanya terlalu lama, 1  tahun 2 bulan dari waktu mediasi. Saya butuh tempat buat tinggal. Karena, saya kontrak (sampai saat sekarang masih kontrak). Nah, ketika sidang saya masih tahap mediasi inilah, tiba-tiba pihak developer  digugat PKPU pada Mei 2019,” sebutnya.

Saat PKPU masuk, imbuhnya, pengacara developer mengajukan putusan sela ke hakim PN Jakarta Utara. Untuk diketahui, putusan sela adalah putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat di dalam suatu dakwaan. Putusan sela adalah putusan yang bukan putusan akhir sebelum hakim memutuskan suatu perkara. Putusan sela harus diucapkan dalam persidangan dan hanya dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan.

“Mereka minta agar sidang saya dihentikan. Dikatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara saya tersebut dengan alasan developer sudah PKPU. Saya pun menyampaikan bukti-bukti ke pengadilan bahwa sesuai UU, No. 37, Tahun 2004 tentang PKPU, Pasal 243 menyatakan PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah dimulai oleh pengadilan,” jelasnya.

Sayangnya, usaha Ernawati tidak berhasil. “Gugatan saya diberhentikan pada Oktober  2019 oleh pengadilan. Lalu,  pada September 2019 (sebelum keputusan hakim dikeluarkan pada Oktober 2019), developer merampas hak saya. Mereka menyatakan, unit saya sudah tidak ada. PPJB saya dibatalkan dan seluruh pembayaran saya dinyatakan hangus,” ia mengisahkan.

Terpaksa, Ernawati pun menelan kepahitan bertubi-tubi. Kepahitan pertama adalah gugatan dengan tuntutan wanprestasi developer tidak dikabulkan dengan alasan sudah PKPU.

Dan, kepahitan ke-2 adalah hak Ernawati dirampas. “Alasan mereka, saya tidak bayar cicilan. Dengan alasan, pihak bank mengajukan kepada developer agar buyback (dibeli kembali) aparteman saya. Padahal, mengenai hal ini, saya sudah sampaikan ke pengadilan dan bank, saya minta penangguhan cicilan sampai perkara saya ada keputusan berkekuatan tetap (incraht),” cetusnya.

BACA JUGA :  Tragedi Kanjuruhan, Pakar Hukum Unair: Kapolda Jatim Harus Dijadikan Tersangka

Di gugatan itu, ungkap Ernawati, ia selain menggugat developer, juga pihak bank yang digugatnya. “Jadi mereka sudah mengetahui unit apartemen saya dalam sengketa. Seharusnya, tidak boleh dirampas atau pun di-buyback (dibeli kembali). Alasan adanya permintaan buyback (dibeli kembali) oleh pihak bank, seharusnya ditolak developer. Karena, status developer dalam PKPU, dan bank juga adalah pihak tergugat dalam perkara saya. Seharusnya, permintaan buyback oleh bank itu ditangguhkan sampai perkara saya keluar keputusan hakim dan berkekuatan hukum tetap (incracht),” imbuhnya.

Akan tetapi, kata dia, justru developer melakukan tindakan merampas dan membeli kembali apartemennya. “Dan, menyatakan unit apartemen serta uang saya hangus. Saya merasakan adanya kesemena-menaan dalam hal ini. Developer memutar balik fakta dengan menuduh saya melakukan wanprestasi,” tandasnya.

Ditegaskan Ernawati, pihak developer juga telah membuat surat pernyataan untuk bank. “Surat pernyataan itu ditandatangani oleh dua orang direktur developer. Yaitu Go Hengky Setiawan selaku direktur dan Budianto Halim selaku direktur utama. Ini bukti suratnya masih ada di saya,” tukas dia.

Kata Ernawati, dalam surat tersebut pada poin nomor 6 dinyatakan bahwa penjual akan menyelesaikan bangunan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 48 bulan sejak ditandatanganinya perjanjian kredit antara pembeli dan bank. “Berarti, developer menjanjikan kepada bank paling lambat Juli 2019 sudah serah terima. Tapi, apakah pada Juli 2019 terjadi serah terima? Tidak ada. Malahan di surat mediasi pengadilan disebutkan akan serah terima Juli 2020. Tapi, apakah pada Juli 2020 terjadi serah terima? Tidak ada. Bahkan, sampai sekarang tahun 2023 ini tidak ada serah terima,” paparnya.

Uang Muka Hangus

Ernawati mengatakan, uang muka yang dibayarkan ke developer pun hangus. “Uang saya Rp 435 juta (DP 30% sebesar Rp 201 juta saya setor ke developer, sisanya adalah cicilan bank selama hampir 5 tahun), semua dinyatakan hangus. Tentu saja saya menjerit. Kok, bisa-bisanya berbalik saya yang dituduh wanprestasi dengan alasan tidak bayar cicilan? Justru developer-lah yang wanprestasi terlebih dahulu. Makanya, saya gugat supaya uang saya bisa balik,” ungkapnya.

Dirinya pun mempertanyakan beberapa hal terkait hal tersebut. “Apakah surat tertulis yang ditandatangani oleh Asisten CEO Santoso Angwar yang dibuat untuk BPSK hanya surat main-main? Apakah surat tertulis mediasi yang disampaikan ke pengadilan adalah main-main juga? Pengakuan adanya keterlambatan serah terima dalam surat mediasi hanya main-main saja? Apakah surat pernyataan tertulis yang ditandatangani dua orang direktur developer itu hanya main-main? Sehingga, begitu gampangnya memutarbalikkan fakta kebenaran siapa yang melakukan wanprestasi itu? Apakah developer masih patut merampas hak saya sebagai konsumen?” tanya Ernawati.

Ibu rumah tangga ini pun kembali mempertanyakan. “Dengan tindakan developer yang tidak mengindahkan upaya mediasi BPSK dan tidak melaksanakan kesepakatan PKPU, ingkar janji berkali-kali, ingkar terhadap kesepakatan BPSK, ingkar terhadap surat pernyataannya, ingkar terhadap PKPU, apakah developer masih patut merampas hak saya sebagai konsumen?” tanyanya lagi.

“Uang ratusan juta saya hilang begitu saja. Padahal, di BPSK dan sidang mediasi pengadilan, developer mengakui adanya wanprestasi itu, adanya keterlambatan. Seakan-akan developer boleh ingkar janji serah terima berkali-kali tanpa ada hukumannya. Sedangkan, saya tidak menyicil, itu pun sudah disampaikan ke pengadilan, langsung hak saya dirampas,” ketusnya.

“Saya mencari keadilan lewat pengadilan. Malah hak saya dirampas developer ketika masih proses berperkara di pengadilan. Uang yang saya kumpulkan dengan bekerja bertahun-tahun harus hilang begitu saja, unit hilang, uang hangus, dan tiap tahun saya terus perpanjang kontrak karena belum ada tempat tinggal permanen. Saya dizalimi.  Kenapa saya bisa bilang dizalimi? Karena, ada seorang konsumen bernama SI A yang secara sukarela menghentikan cicilan bank, alasannya karena SI A merasa ditipu, dia sudah 12 tahun dijanjikan terus akan serah terima dan tidak ada realisasinya. Dan, SI A ini sudah selama 10 bulan tidak menyicil ke bank. Tapi, terhadap konsumen SI A, haknya tidak dirampas, malah developer membujuk SI A dan mempersilahkan untuk melanjutkan cicilan walaupun sudah menunggak selama 10 bulan. Kenapa hak SI A tidak dirampas? Sedangkan, hak saya dirampas? Mengapa ada perbedaan di sini?,” ia menanyakan lagi.

BACA JUGA :  Catat! Ternyata Tidak Semua Orang Bisa Dapat Bantuan Pembelian Motor Listrik

Hal itu, kata Ernawati, menunjukkan betapa developer semena-mena, semau-maunya, tanpa mengindahkan hukum. “Karena, ketika digugat di pengadilan, malah melakukan perampasan unit saya. Saya adalah korban. Hak saya dirampas. Apakah developer yang sudah berkali-kali lalai dalam janjinya kepada saya untuk serah terima, patut berbalik mengatakan saya wanprestasi?” cetusnya.

Minta Keadilan

Ernawati pun meminta negara hadir untuk memberikan keadilan pada dirinya. “Kepada negara, saya minta tolong dibantu untuk mengakomodasi hak saya yang dirampas semena-mena oleh developer agar dipulihkan dan dikembalikan dalam bentuk apa pun. Saya membeli dan membayar apartemen yang sama sekali belum saya tempati. Saya sudah bayar ratusan juta, tapi dibilang unit dan setoran uangnya hangus. Developer yang memulai wanprestasi, tapi konsumen yang dijungkirbalikkan jadi yang bersalah. Itu karena developer punya power (kekuasaan) sehingga semena-mena terhadap konsumen. Saya tidak punya kekuatan melawan developer. Saya hanya rakyat kecil,” sebutnya.

Hukum properti di Indonesia sangat melemahkan dirinya sebagai konsumen. “Developer dengan status PKPU bisa dengan gampangnya mengambil hak saya. Dan, itu dilakukan ketika saya sedang berperkara di pengadilan. Jadi, kemana lagi saya harus cari keadilan? Hak saya dirampas justru ketika saya mohonkan keadilan lewat peradilan hukum. Maka dari itu, di sinilah saya rasa, negara perlu  hadir untuk membela saya. Jadi sekali lagi saya minta tolong dengan sangat. Sekian. Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya,” papar Ernawati.

Ditambahkan Ernawati, ada tiga orang korban yang haknya dirampas developer dan uangnya hangus. “Ada tiga orang termasuk saya yang nasibnya seperti ini. Hak-hak kami dirampas dan uang hangus. Sedangkan, korban yang belum menerima unit apartemen ada 127-an orang. Dan mungkin bisa juga lebih dari itu,” sebutnya.

Jadi, tegasnya, permasalahan di Apartemen Puit Sea View ini, Binakarya Jaya Abadi belum menjalankan kesepakatan PKPU. “Pertama, Tower Maldives belum ada Akte Jual Beli (AJB).
Kedua, Tower Belize baru sebagian serah terima unit. Ketiga, Tower Ibiza sama sekali belum serah terima unit,” ucapnya.

Mengadu ke Anggota DPR RI dan DPRD DKI Jakarta

Menghadapi kasus ini, Ernawati dan puluhan korban lainnya pun mengadukan persoalan yang mereka hadapi ke anggota DPR RI dan DPRD DKI Jakarta. Pada Jumat malam, 7 Juli 2023, di BIC (Blockchain Innovation Center), Landmark Pluit, Tower D/6, Lantai 2, Jakarta Utara, Ernawati dan puluhan korban lainnya diterima anggota DPR RI Komisi VI dari PDIP, Darmadi Durianto dan anggota DPRD DKI Jakarta, Gani Suwondo Lie.

Dalam Acara “Serap Aspirasi Masyarakat” itu, dua wakil rakyat dari PDIP tersebut mendengarkan segala keluhan persoalan yang dihadapi para korban. Salah seorang korban lainnya, Timo, memohon agar ada kepastian hukum dalam menangani kasus ini.

“Kami kesulitan mendapatkan kepastian hukum,” ucap Timo.

Koordinator paguyuban korban PSV, Andy Haliman dalam kesempatan tersebut mengatakan, pihaknya adalah masyarakat yang awam soal hukum. “Kami memang masyarakat biasa. Soal hukum, kami awam. Tapi, ada satu kata ‘keadilan’ yang kita harapkan. Harapan kami, kami harus seperti apa next time (ke depan)? Apakah ke Fraksi (PDIP DPR RI) atau apa? Kami perlu di-guide (dibimbing dan diarahkan) ke depan untuk menghadapi kasus ini,” ucap Andy.

Dikatakan Andy, dari sejak membeli, para korban mulai dari tahun 2014 sampai detik ini belum ada serah terima unit. “Harapannya, dengan adanya pertemuan ini, kami ada yang menggiring atau meng-guide untuk langkah-langkah selanjutnya. Dengan adanya pertemuan ini bersama Pak Darmadi Durianto selaku anggota DPR RI dan Pak Gani Suwondo Lie selaku anggota DPRD DKI tentunya, beliau-beliau kami harapkan bisa memberikan bantuan untuk menyelesaikan kasus ini. Saya yakin dengan kehadiran Bapak-bapak (anggota DPR-RI dari komisi VI dan DPRD DKI) ini dapat membantu menyelesaikan problem ini,” harap Andy.

BACA JUGA :  Mantab! Indonesia Bakal Memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pertama di Tahun 2030

Sebab, terangnya, segala upaya telah dilakukan pihaknya. “Kami sudah hubungi call center PSV minta bertemu direksi, ada juga yang ke BPSK, melalui pengadilan juga, tetapi hasilnya  nihil. Untuk ke depannya, kami pun memohon agar Pemerintah Indonesia khususnya Presiden RI Jokowi dapat membantu menyelesaikan masalah kami,” harapnya.

Anggota DPR Darmadi Durianto Sebut PSV Zalim

Mendengar segala keluhan para korban, anggota DPR RI Darmadi Durianto pun mengaku sangat prihatin dan menyebut pihak PSV zalim. “Kasus ini sudah masuk ke proses hukum. Tentu saya prihatin. Putusan-putusan itu harus kami pelajari. Untuk Bu Ernawati, kita perlu perjelas, BPSK sebetulnya sudah tua dan tidak layak dipakai. Mereka  punya ini (uang). Hampir semua putusan MA yang menang pelaku usaha (developer), jarang konsumen menang. Kita akan lihat, putusan PKPU, homologasinya (persetujuan atau perjanjian debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan) seperti apa. Legal prosesnya harus tahu. Tapi, yang pasti, Ibu (Ernawati) dizalimi. Karena, uang Rp 200 juta hangus. Di Indonesia ini, cari keadilan susah. Kepastian hukum belum optimal. Suatu saat, Pluit Sea View (PSV) ini  kita akan undang di DPR. Di komisi VI biar ramai,” tandas Darmadi.

Lebih lanjut, wakil rakyat di Senayan itu menyinggung soal hangusnya uang korban Ernawati. “Yang menyatakan hangus siapa? Developer? Developer tidak bisa menyatakan itu, tidak berhak. Legal standing-nya siapa? Dialihkan ke orang lain? Pasti ada dasar hukumnya. Kita musti pelajari. Dan, kita perlu  kondisikan seluruh saksi untuk menerima ini. Nanti bisa kita ramaikan seperti kasus Meikarta. Kasus Meikarta itu seluruh fraksi mendukung. Meikarta pun viral. Bentuk dulu perkumpulannya, harus kompak. Saya kasih contoh Meikarta itu. Kami juga bisa terima di Fraksi PDIP nanti,” ujar Darmadi.

Anggota DPRD DKI Jakarta, Gani Suwondo Lie dalam acara itu menyatakan setuju soal kepastian hukum. “Saya setuju, semua harus ada kepastian hukum. Negara kita ini sudah 77 tahun merdeka, tapi masih belum sempurna soal kepastian hukum. Pelaksanaannya susah. Contoh, tiap hari pelaku kejahatan ditangkap, tapi tetap ada yang melakukan lagi. Kesadaran hukumnya tidak ada. Sebagai pengusaha, saya pernah juga ditawari apartemen di Australia. Tapi, uangnya tidak diambil developer, melainkan di bank. Developer baru bisa menerima setelah serah terima (unit). Di Indonesia harusnya menerapkan seperti itu,” pinta Gani.

Soal PSV, kata legislator PDIP di Kebon Sirih tersebut, di situlah “kenakalan-kenakalan” developer. Sulit disentuh hukum. Soal Bu Ernawati, terjadi perampasan hak, penzaliman, perampasan hak-hak manusia, kita akan perjuangkan. Kami akan bantu Bapak-bapak, Ibu-ibu 100 persen. Usulan saya, ke DPR RI. Tapi, saya tidak bisa memberikan alasan. Saya juga punya keterbatasan di DPRD. Kita akan sama-sama carikan solusi. Kalau kasus ini, lebih baik dibawa ke pusat (DPR). Seharusnya di pusat, tapi saya tetap hadir dampingi. Karena, ada yurisprudensi-nya yaitu kasus Meikarta,” imbuhnya.

Manajemen PSV belum Dapat Berikan Jawaban

Sementara itu, saat dikonfirmasi wartawan, Manajer Customer Relationship Apartemen Pluit Sea View (PSV), Madju Flencius Hutajulu belum dapat memberikan jawaban. Ditanya soal dugaan perampasan hak konsumen dan hangusnya uang korban serta tidak kunjung diserahkan unit apartemen, Madju tidak dapat memberikan jawaban karena harus ditanyakan dahulu ke manajemen.

“Kami belum tahu. Harus tahu dulu dari tanggapan manajemen. Kalau pembelian hangus enggak ada,” ujar Madju.

Namun, ketika diungkapkan adanya uang konsumen yang hangus dan haknya dirampas, Madju tidak dapat menjawab. “Saya belum bisa memberikan jawaban, saya tanyakan dulu ke manajemen. Nanti saya kabarin, ya, Pak. Nanti saya tanya manajemen dulu. Saya belum tahu jawabannya,”

Madju pun meminta wartawan ke depan menghubungi customer relation. “Ke depannya jika ada keperluan, maka silakan menghubungi nomor HP customer relation di 085959612218, ya, Pak. Thanks,” ucap Madju. (AGS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini