RATAS – Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) disusun dengan mempertimbangkan prinsip negara kesatuan, penguatan teritorial, serta keadilan sosial bagi seluruh prajurit.
Hal itu disampaikan Utut usai memberikan keterangan dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara 68, 82, dan 92/PUU-XXIII/2025 tentang pengujian materiil UU TNI, Kamis (9/10/2025).
Sidang tersebut merupakan kelanjutan dari persidangan sebelumnya pada 24 September yang sempat ditunda karena DPR dan Pemerintah belum dapat menyampaikan keterangannya. Dalam kesempatan kali ini, DPR memberikan penjelasan atas sejumlah pasal yang menjadi pokok gugatan para pemohon.
Untuk Perkara 68/PUU-XXIII/2025, DPR menjelaskan ketentuan mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), khususnya terkait perbantuan TNI kepada pemerintah daerah.
“Kalau yang digugat ini kan Pasal 7 OMSP. Itu soal perbantuan di pemerintah daerah, dan sudah kami jelaskan kenapa. Ini bagian dari konsep negara kesatuan dan penguatan teritorial, dan semuanya ada aturannya,” ujar Utut, yang juga merupakan Ketua Panja RUU TNI saat pembahasan undang-undang tersebut.
Ia menambahkan, pelibatan TNI dalam membantu pemerintah daerah hanya dilakukan atas permintaan resmi dari kepala daerah dan aparat keamanan setempat. “Jadi TNI membantu atas permintaan gubernur atau bupati, serta kapolda atau kapolresnya. Jadi soal itu aman,” tegas politisi Fraksi PDI Perjuangan itu.
Utut juga menyampaikan bahwa dalam Perkara 82/PUU-XXIII/2025, pemohon yang sebelumnya menggugat ketentuan terkait kewenangan TNI dalam penanggulangan serangan siber dan peran kesekretariatan negara telah mencabut gugatannya.
Sementara untuk Perkara 92/PUU-XXIII/2025, yang menyoal ketentuan usia pensiun perwira tinggi TNI, Utut menjelaskan bahwa pengaturan tersebut dibuat dengan mempertimbangkan asas keadilan sosial dan kondisi objektif institusi TNI.
“Yang disoal itu sebenarnya soal usia Panglima TNI, jenderal bintang empat, bisa sampai 63 tahun dan dapat diperpanjang dua tahun. Ini konsep utama kami dulu. Karena di TNI, Tamtama dan Bintara jumlahnya hampir 400 ribu dari total sekitar 485 ribu personel,” jelasnya.
Menurut Utut, pengaturan usia pensiun dilakukan secara bertahap sesuai jenjang kepangkatan. “Tamtama dan Bintara dari 53 jadi 55 tahun, Kolonel sampai 58, Bintang 1 sampai 60, Bintang 2 sampai 61, Bintang 3 sampai 62, dan Bintang 4 sampai 63 tahun,” urainya.
Menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Saldi Isra mengenai dasar pengaturan tersebut, Utut menegaskan bahwa kebijakan itu didasarkan pada asas keadilan sosial dan kemampuan anggaran negara.
“Ini profesi pengabdian yang sudah kontrak mati. Kalau umur 53 anaknya belum mentas, itu juga pertimbangan keadilan sosial. Kenapa tidak 58? Karena terlalu banyak, dan menyangkut begroting negara yang belum kuat,” tambahnya.
Utut juga menyampaikan rasa duka atas meninggalnya prajurit TNI saat persiapan HUT TNI. Ia menyebut, peristiwa tersebut menjadi pengingat bahwa profesi militer merupakan bentuk pengabdian tertinggi kepada negara.
“Selain berduka, tentu sudah diurus oleh Panglima dan para Kepala Staf. Dari pelajaran ini kita harus ambil pesan moral, bahwa pekerjaan ini menuntut pengabdian total,” ucapnya.
Menutup keterangannya, Utut berharap para hakim konstitusi menolak seluruh gugatan dalam ketiga perkara tersebut. “Petitumnya kan tiga, dan intinya kami minta ditolak. Karena pertama legal standing-nya tidak kuat, lalu pertanyaan-pertanyaan itu bisa kami patahkan dengan dalil yang kami argumentasikan selama proses pembahasan,” tandasnya. (HDS)