RATAS – Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Ahmad Doli Kurnia buka suara soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah.
Doki mengkritik tajam terhadap MK yang dinilainya telah melampaui kewenangan konstitusional. Menurut dia, mahkamah telah berperan sebagai positive legislator atau pembentuk undang-undang ketiga di luar DPR dan Pemerintah.
“Saya sudah berkali-kali menyampaikan, Mahkamah Konstitusi ini makin kesini makin ‘offside’. Ia melampaui kewenangan dengan memutuskan norma-norma yang seharusnya diputuskan oleh pembentuk undang-undang,” ungkap Doli dikutip dari parlementaria, Selasa (8/7).
Menurut Politisi Fraksi Partai Golkar itu, sistem ketatanegaraan Indonesia secara tegas hanya mengakui dua pihak sebagai pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. Namun dalam praktiknya, MK belakangan kerap mengintervensi wilayah legislasi melalui putusan yang bersifat normatif.
“Putusan MK ini tidak bisa dilepaskan dari posisi politik partai, karena menyangkut eksistensi partai politik ke depan. Karenanya kami di partai juga sedang mengkaji serius putusan ini,” tegasnya.
Dia menyayangkan sikap DPR yang selama ini tidak cukup serius menanggapi urgensi revisi Undang-Undang Pemilu. Menurutnya, hal itu justru memberi ruang kepada MK untuk terus mengambil peran dalam penentuan norma hukum pemilu.
“Kalau kita biarkan, ya lama-lama semua keputusan konstitusi diputuskan oleh MK, kita hanya disuruh menjalankannya. Ini berbahaya bagi sistem demokrasi dan mekanisme checks and balances,” ujar Doli.
Lebih lanjut, Doli menekankan pentingnya pembahasan ulang sistem politik dan pemilu secara menyeluruh dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Ia mengingatkan bahwa pelaksanaan Pemilu serentak selama ini telah menimbulkan banyak persoalan, termasuk aspek efisiensi dan keselamatan penyelenggara.
“Setelah 27 tahun reformasi dan lebih dari 25 tahun amandemen konstitusi, sudah saatnya kita ubah sistem pemilu kita yang terlalu mahal, melelahkan, dan menimbulkan korban. Kita harus evaluasi dan perbaiki secara serius,” katanya.
Terkait tenggat waktu perubahan regulasi, Doli menekankan bahwa revisi UU Pemilu harus sudah rampung paling lambat Juli 2026, sehingga di Agustus 2026 tahapan Pemilu 2029 sudah bisa dilaksanakan.
Hal ini penting agar tahapan Pemilu 2029 bisa berlangsung sesuai jadwal, dan agar proses seleksi penyelenggara Pemilu tidak tumpang tindih dengan tahapan teknis Pemilu.
“Kalau mengikuti siklus tahapan, tahapan Pemilu sudah harus dimulai sejak awal 2026. Bahkan teman-teman di KPU bilang idealnya butuh waktu 2,5 tahun untuk persiapan. Jadi pembahasan revisi UU Pemilu ini tidak bisa ditunda-tunda lagi,” pungkasnya.
Putusan MK
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo pada Kamis, 26 Juni 2025, mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional terpisah dengan tingkat daerah.
Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Adapun perkara 135 ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.