Restorative Justice Berakar dari Kearifan Lokal Bangsa Indonesia

Jumat, 19 September 2025, Pukul 10:25 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan

RATAS — Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menegaskan bahwa konsep restorative justice sejatinya bukanlah gagasan asing yang diimpor dari luar negeri, melainkan telah lama berakar dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

“Restorative justice itu sebenarnya lahir dari budaya kita sendiri. Sebelum Belanda datang membawa KUHP, tidak ada kebiasaan saling memenjarakan. Semua persoalan diselesaikan dengan cara salaman,” ujar Hinca kepada Parlementaria usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi III DPR RI dalam rangka serap aspirasi RUU KUHAP di Mapolda Jambi, Jumat (12/9/2025).

Menurut Hinca, sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa praktik penyelesaian sengketa secara damai sudah menjadi tradisi turun-temurun di berbagai wilayah Nusantara. Ia mencontohkan kisah klasik Tanah Melayu tentang Hang Tuah dan Hang Jebat, yang memperlihatkan nilai-nilai penyelesaian konflik tanpa proses pengadilan formal.

“Masuknya hukum pidana kolonial Belanda sejak Staatsblad 1915 No. 732 dan berlaku tahun 1918 membuat budaya penyelesaian damai itu tersingkir. Karena kita dijajah, maka melawan penjajah berarti masuk penjara,” jelasnya.

BACA JUGA :  Transfer Kehamilan pada Badak Dinilai Sukses, Badak Putih Bakal Lolos dari Kepunahan?

Revisi KUHAP Harus Selaras dengan Semangat KUHP Baru

Hinca menjelaskan, KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 merupakan tonggak sejarah penting dalam sistem hukum nasional. Undang-undang tersebut, katanya, dibangun berdasarkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi mendesak agar selaras dengan semangat baru tersebut. “KUHAP harus mampu mengakomodasi prinsip restorative justice secara menyeluruh,” tegasnya.

Selama ini, lanjut Hinca, aturan mengenai restorative justice tersebar di berbagai lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan Mahkamah Agung, dengan format dan mekanisme berbeda-beda. Kondisi tersebut menyebabkan penerapan keadilan restoratif berjalan tidak seragam dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Ke depan tidak boleh lagi ada aturan yang berjalan sendiri-sendiri. Semua harus diatur secara terpadu dalam KUHAP agar berlaku untuk kita semua,” pungkas Hinca.(HDS)

Latest

Abdullah Desak OJK Cabut Aturan Penggunaan Debt Collector: Banyak Praktik Melanggar Hukum

RATAS - Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di...

Usul Bagus dari DPR, OJK Diminta Hapus Aturan Tagih Utang Lewat “Debt Collector”, Anda Setuju?

RATASTV - Ada wacana menarik yang dilontarkan anggota Komisi III DPR RI Abdullah. Ia meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghapus Pasal 44, Ayat (1) dan (2) pada Peraturan OJK, Nomor 22, Tahun 2023...

Komisi III Desak Penegakan Tegas Tambang Ilegal dan Narkotika di Sultra

RATAS - Komisi III DPR RI menyoroti dua persoalan strategis yang masih membayangi Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), yakni maraknya praktik tambang ilegal dan penyalahgunaan narkotika. Keduanya...

DPR Tegaskan Penguatan Teritorial dan Keadilan Sosial Jadi Landasan Utama UU TNI

RATAS - Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) disusun dengan mempertimbangkan prinsip negara kesatuan,...

Dorong Transisi Energi, Ratna Juwita Ingatkan Pemerintah: Jangan Gunakan E10 sebagai Alasan Impor Etanol

RATAS — Anggota Komisi VII DPR RI, Ratna Juwita Sari, menanggapi rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk menerapkan kebijakan bahan bakar campuran E10, yakni...
3984931246225911134
CMS-Critic-Banner-300x600