RADAR TANGSEL RATAS – KPK akhirnya menetapkan mantan pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, sebagai tersangka penerima gratifikasi. Ia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Seperti yang dirilis Detik.com (31/3/2023), Rafael menerima penetapan dirinya sebagai tersangka, dan ia pun bersedia menceritakan semua asal-usul kekayaannya.
Menurut Rafael, hartanya tidak pernah bertambah sejak berstatus pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Kata dia, yang terjadi pada hartanya adalah peningkatan nilai harta karena NJOP atau nilai jual objek pajak naik.
Ia juga membeberkan seputar uang yang ada di safety box. “Uang yang ada di safety box itu adalah uang dari hasil penjualan tanah saya di tahun 2010, ada empat tanah yang saya jual,” ungkap Rafael, dikutip dari detikcom, Kamis malam (30/3/2023).
Yang pertama, kata Rafael, rumah yang berlokasi di Taman Kebon Jeruk Blok G I nomor 112 sekitar Rp 10 miliar. Tanah tersebut, kata dia, adalah hibah dari orang tua. “Ada akta hibahnya,” ucap Rafael.
Kemudian tahun 1997, Rafael membeli tanah senilai Rp 200 juta. Lalu dijual di tahun 2010 naik harganya menjadi Rp 2,3 miliar.
“Saya juga mempunyai tanah di Jalan Pangandaran Nomor 18 di Bukit Sentul, saya jual Rp 2,4 miliar. Kemudian saya juga punya rumah di England Park Bukit Sentul, itu juga saya jual senilai Rp 600 juta. Kemudian saya punya reksadana di tahun 2009 yang saya cairkan di 2010 sebesar Rp 2,7 miliar,” ungkap Rafael.
Setelah dijual, uang hasil penjualan ditukar dengan mata uang asing. Seiring waktu, valasnya naik karena terjadi kenaikan kurs terhadap rupiah.
“Kemudian saya simpan di safe deposit box saya. Saya tidak melaporkan dalam LHKPN saya, tetapi dalam SPPT saya laporkan penjualan-penjualan aset tersebut,” tutur Rafael.
Rafael juga mengaku ayahnya adalah seorang dokter TNI AD, menjabat terakhir sebagai Kepala Rumah Sakit Tentara. “Ibu saya apoteker. Bapak dan Ibu saya adalah alumni UGM. Selain itu Bapak saya mempunyai praktik dokter yang cukup ramai pada saat itu tahun ’70 an itu. Saya sering ditugaskan untuk mengetik tagihan dari pasien-pasien langganan dari beberapa pabrik. Itu bisa sampai Rp 1,5 juta untuk tahun itu,” ungkap Rafael dengan nada datar.
“Jadi, untuk satu nama, saya dapat Rp 1, jadi kalau saya dapat Rp 100 atau Rp 500 nama, saya dapat Rp 500. Itu yang dipakai untuk uang jajan saya,” lanjut Rafael.
Adapun ibunya, selain sebagai apoteker, juga memiliki usaha penggergajian kayu di Pontianak dan sebagai importir barang pecah belah yang dijual ke toko-toko di Pontianak.
“Ibu saya di Yogya termasuk sosialita, berteman dengan orang-orang kaya di Yogya. Nyonya * itu sahabat dekat Ibu saya. Dan Ibu saya juga berbisnis menjual perhiasan dalam komunitas-komunitas di Yogya. Rumah orang tua saya di Yogya juga di pinggir jalan raya itu sejak tahun ’77 luasnya 1.800 meter, memiliki tembok tinggi,” papar Rafael.
Sebagai pegawai pajak, Rafael mengklaim bahwa dirinya selalu tertib melaporkan SPT-OP sejak tahun 2002 dan seluruh asetnya tetap dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hal itu terlihat dari nilai aset tetap dalam LHKPN yang tinggi karena mencantumkan nilai NJOP, walaupun sebenarnya nilai pasar bisa lebih rendah dari NJOP.
Ia juga mengaku selalu membuat catatan sesuai dokumen hukum dan siap menjelaskan asal usul setiap aset tetap jika dibutuhkan. Ia menegaskan juga bahwa dirinya tidak pernah dibantu oleh konsultan pajak manapun dan selalu membuat SPT sendiri.
“Saya mengikuti program Tax Amnesty pada tahun 2016 dan Program Pengampunan Pajak (PPS) tahun 2022 sebagai bentuk kepatuhan dalam membayar pajak,” ujar Rafael.
Pada tahun 2017, Rafael menjadi salah satu Kepala Kantor Pajak di Jakarta dan mendapatkan pendapatan pajak tertinggi untuk negara yaitu Rp 21 triliun. Atas usahanya itu, Rafael diberi penghargaan oleh Kemenkeu.
“Saya tidak pernah menyembunyikan harta, dan siap menjelaskan asal usul setiap aset,” pungkas Rafael. (BD)