RATAS – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan digunakan untuk membayar utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh).
Menurut anak buah Presiden Prabowo Subianto tersebut, Whoosh saat ini dikelola oleh BUMN yang sudah berada di bawah pengawasan Danantara.
“Danantara sudah ngambil Rp 80 triliun lebih dividen dari BUMN, seharusnya mereka manage dari situ saja,” kata Purbaya di Jakarta, Senin (13/10).
“Kalau pakai APBN agak lucu. Karena untungnya ke dia (Danantara), susahnya ke kita. Harusnya kalau diambil (dividen BUMN), ambil semua gitu (termasuk beban utang BUMN),” imbuhnya.
Sebelumnya, Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) menyiapkan dua opsi untuk membereskan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Chief Operating Officer (COO) BPI Danantara Dony Oskaria mengungkap dua cara itu adalah menyuntik dana ke KAI atau mengambilalih infrastruktur Kereta Cepat.
Utang Whoosh
Sebagai informasi, Whoosh alias Kereta Cepat Jakarta-Bandung dibangun dengan nilai total investasi US$ 7,2 miliar atau setara Rp 116,54 triliun (asumsi kurs Rp 16.186 per dolar AS).
Investasi ini bengkak dari proposal awal yang diajukan oleh China pada 2015 lalu saat rebutan dengan Jepang.
Saat itu, China menawarkan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan nilai investasi US$ 5,13 miliar.
Investasi lebih murah dibandingkan dengan tawaran Jepang yang mengajukan proposal investasi US$ 6,2 miliar.
Dari total biaya investasi itu US$7,2 miliar tersebut, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Keberadaan utang itu, membebani kinerja keuangan PT KAI sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam pengoperasian Whoosh.