RADAR TANGSEL RATAS – Tak dapat disangkal, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) semakin pesat. Saking pesatnya, bahkan publik di China mulai menggunakan AI untuk “menghidupkan” lagi orang yang sudah meninggal. Kok bisa?
Seperti yang dilansir businesstimes.com.sg (14/12/2023), salah satu perusahaan asal China yang bergerak di bidang pengkloningan wajah dan suara, Super Brain, mematok harga 10.000 dan 20.000 Yuan (Rp 22 juta hingga 44 juta) untuk membuat avatar sederhana dalam waktu sekitar 20 hari. Hal tersebut merupakan salah satu cara “menghidupkan” kembali orang yang sudah mati sesuai dengan permintaan keluarga dari orang yang bersangkutan, ataupun untuk kebutuhan lainnya.
Berbagai karakter yang dibuat mulai dari mereka yang telah meninggal hingga orang tua yang masih hidup yang tidak dapat menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka, hingga mantan pacar yang patah hati ditinggal mati. Bahkan, sang klien juga dapat melakukan panggilan video dengan anggota staf yang wajah dan suaranya secara digital menyerupai dengan orang yang telah meninggal atau hilang.
Menurut founder Super Brain, Zhang Zewei, industri AI yang dapat ‘menghidupkan’ kembali orang yang sudah meninggal ini memang tengah berkembang pesat di China. Beberapa perusahaan China bahkan mengklaim telah menciptakan ribuan “manusia digital” hanya dari materi audiovisual almarhum yang berdurasi 30 detik. “Dalam hal teknologi AI, Tiongkok berada di kelas tertinggi di seluruh dunia,” ungkap Zhang.
“Dan ada begitu banyak orang di Tiongkok, banyak yang memiliki kebutuhan emosional, yang memberi kami keuntungan dalam hal permintaan pasar,” ia melanjutkan.
Sementara itu, Tal Morse, seorang peneliti di Centre for Death and Society, Universitas Bath, Inggris, mengatakan bahwa teknologi yang dijuluki “robot hantu” itu dapat menawarkan rasa nyaman. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memahami implikasi psikologis dan etisnya.
“Pertanyaan kuncinya di sini adalah seberapa setia “robot hantu” itu terhadap kepribadian yang mereka rancang untuk ditiru. Apa yang terjadi jika mereka melakukan hal-hal yang akan ‘mencemari’ ingatan orang yang seharusnya mereka wakili?” tutur Morse.
Ada pula masalah lainnya, yakni tidak adanya persetujuan dari orang yang sudah meninggal atas cara-cara tadi. Hal itu disampaikan oleh Nate Sharadin, filsuf di University of Hong Kong yang berspesialisasi di bidang AI dan efek sosialnya.
Tapi, bagi Zhang dari Super Brain, selama produk dari perusahaannya bisa berguna dam membantu orang-orang yang membutuhkan, hal yang disampaikan oleh Morse tadi bukanlah sebuah masalah. (ARH)