RADAR TANGSEL RATAS – Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia banyak yang melebihi kapasitas. Yasonna mendorong pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara.
Hal itu disampaikan Yasona dalam Simposium Nasional ‘Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia’, di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Kamis (13/4/2023).
Seperti yang dilansir Detik.com (13/4/2023), tercatat, penghuni lapas saat ini mencapai 265.707, dari kapasitas sebesar 137.031. “Bisa dibayangkan sekarang existing 265 ribu, katakan 100 ribu saja ditambah tanpa program COVID-19, yang kita keluarkan sama dengan 365 ribu. Dengan kondisi sekarang saja kita sudah overkapasitas 94 persen rerata,” ujar Yasonna.
Yasonna juga mengatakan ada lapas yang melebihi kapasitasnya, bahkan mencapai 800 persen, yakni di Lapas Kelas II Bagansiapiapi. Kata dia, lapas-lapas tersebut mengeluarkan biaya kurang lebih Rp 2 triliun.
“Kalau dilihat di kota-kota tertentu bahwa Bagansiapiapi 800 persen. Bireuen berapa ratus persen, di beberapa tempat beratus-ratus persen, ada yang 300 persen, mengeluarkan biaya negara lebih dari Rp 2 triliun lebih, hanya untuk bahan makanan dengan klas yang harga yang murah,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Yasonna mendorong agar proses penyelesaian perkara dilakukan lewat restorative justice. Dia mengatakan hal itu tertuang dalam KUHP baru yang akan berlaku pada tahun 2026.
“Maka dalam konteks ini saya mengajak untuk sumbangsih berpikir, bagaimana kita, bagaimana filosofi yang sudah baik kita lahirkan dalam UU Pemasyarakatan, konsep restorative justice yang kita tuangkan di KUHP baru dapat kita terapkan dalam proses pemidanaan kepada anak-anak bangsa, yang oleh karena satu dan lain hal menjadi melakukan kejahatan,” tutur Yasonna.
Lebih lanjut, Yasonna menyoroti setiap pelanggaran pidana yang selalu berujung pada pemenjaraan. Dia mengatakan, jika masyarakat terus mempertahankan prinsip tersebut, Indonesia akan terus tertinggal.
“Ini harus menjadi wake up call bagi setiap lini, karena berdasarkan data terakhir ini juga menjadi penting buat kita, karena kalau kita terus mempertahankan prinsip premium remedium bahwa pemidanaan itu adalah satu-satunya, maka kita tidak akan mampu berkejar-kejaran membangun lembaga pemasyarakatan, berkejar-kejaran membangun lapas dengan tingkat kejahatannya,” papar Yasonna.
Dia lalu menjelaskan, di Amerika Serikat (AS), hukuman mati dilakukan dengan sangat keras, tapi tidak menyurutkan angka kejahatan. Sebaliknya, dia mengatakan Eropa tidak menerapkan hukuman mati, tapi lapas di Eropa tampak kosong.
“Di mana filosofi yang salah? Pendekatan yang salah? Maka ini menjadi penting buat kita secara bersama-sama,” ujarnya. (BD)