RATAS— Kongres Peru resmi memakzulkan Dina Boluarte dari jabatannya sebagai Presiden negara tersebut pada Jumat (10/10) dini hari
Pemakzulan Presiden Peru Dina Boluarte terjadi setelah meningkatnya gelombang kejahatan di seluruh negeri.
Para anggota parlemen Peru menilai Boluarte gagal menekan angka kriminalitas yang semakin parah.
Dilansir dari AP News, sebanyak 124 anggota kongres sepakat mencopotnya tanpa ada satu pun suara yang menolak.
Boluarte tidak hadir dalam sidang untuk membela diri sebelum pemungutan suara dimulai.
Keputusan pemakzulan itu diambil hanya beberapa jam setelah insiden penembakan di sebuah konser di ibu kota Lima, yang memicu kemarahan publik terhadap pemerintah.
Berbeda dari delapan upaya pemakzulan sebelumnya, kali ini hampir semua fraksi parlemen mendukung pencopotan tersebut.
Boluarte sebelumnya naik ke kursi presiden pada Desember 2022 setelah menggantikan Pedro Castillo yang dimakzulkan karena berusaha membubarkan parlemen.
Dia menjadi presiden perempuan pertama dalam sejarah Peru sekaligus pemimpin keenam negara itu dalam waktu kurang dari satu dekade.
Masa jabatannya seharusnya berakhir pada 28 Juli 2026, sementara pemilu presiden berikutnya telah dijadwalkan untuk April tahun depan.
Hingga kini, belum jelas siapa yang akan menggantikan Boluarte sebagai kepala negara.
Berdasarkan konstitusi, presiden Kongres menjadi pengganti sementara, meskipun para legislator dapat memilih tokoh lain dari antara mereka.
Sebelum menjadi presiden, Boluarte menjabat sebagai wakil presiden dalam pemerintahan Pedro Castillo.
Sejak awal masa kepemimpinannya, ia menghadapi gelombang penolakan besar dari masyarakat.
Dalam tiga bulan pertama masa jabatannya, tercatat lebih dari 500 aksi protes yang menuntut pengunduran dirinya.
Skandal politik dan meningkatnya angka kejahatan memperburuk citra pemerintahannya di mata publik.
Dalam pidato militer pada Rabu (8/10), Boluarte menuding imigrasi ilegal sebagai penyebab utama meningkatnya kejahatan di Peru.
Dia juga menyalahkan pemerintahan sebelumnya karena dianggap membuka perbatasan tanpa pengawasan yang memadai.
Gelombang kekerasan dan krisis politik terbaru ini memperdalam ketidakstabilan di negara Amerika Selatan tersebut.
Perdana Menteri Eduardo Arana sempat membela Boluarte dalam sidang parlemen, menyatakan bahwa pemakzulan bukanlah Solusi.
Namun, mayoritas anggota kongres tetap bersikeras mencopot sang presiden.
Sementara itu, Arana menegaskan bahwa pemerintah siap meninggalkan jabatan kapan pun jika itu merupakan kehendak rakyat.