RATAS – Kementerian Agama Republik Indonesia tengah menyusun regulasi khusus terkait keberadaan dan tata kelola rumah doa, sebagai respons atas belum adanya pengaturan eksplisit dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Langkah ini juga menyusul insiden yang terjadi di Desa Tangkil, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang memicu ketegangan antarwarga.
PBM yang selama ini menjadi acuan pendirian rumah ibadah hanya mencakup masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng. Namun dalam praktiknya, istilah “rumah doa” kerap digunakan masyarakat, khususnya oleh denominasi tertentu dalam komunitas Kristen, untuk menyebut tempat ibadah berskala kecil atau bersifat privat.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad, atau yang akrab disapa Gus Adib, menjelaskan pentingnya pengaturan rumah doa agar tidak terjadi ambiguitas hukum dan gesekan sosial.
“Rumah doa sering digunakan sebagai tempat ibadah, tapi tidak punya payung hukum yang jelas. Ini menimbulkan dilema: secara konstitusi dijamin, tapi dalam praktik bisa berdampak ke ruang publik. Maka harus ada kearifan dalam pelaksanaannya,” ujar Gus Adib dalam keterangan di Jakarta, Selasa (1/7/2025).
PKUB Kemenag telah menggelar dua kali Focus Group Discussion (FGD) bersama para pemuka agama lintas organisasi seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, PERMABUDHI, dan MATAKIN. Dari diskusi tersebut, ditemukan bahwa istilah “rumah doa” tidak seragam penggunaannya dan paling banyak dipakai oleh gereja-gereja Pentakostal dan Injili. Istilah ini jarang dikenal dalam tradisi Katolik maupun denominasi Lutheran dan Calvinis.
Regulasi ini juga menjadi jawaban atas insiden di Sukabumi pada 27 Juni 2025, ketika sebuah rumah tinggal yang difungsikan sebagai tempat ibadah diserang dan dirusak oleh sekelompok massa. Tempat tersebut awalnya digunakan untuk produksi jagung dan peternakan ayam, namun sejak April 2025 mulai difungsikan sebagai rumah doa.
Warga sekitar sempat menyampaikan keberatan secara persuasif, terutama karena kehadiran rombongan besar dan aktivitas keagamaan yang dianggap mengganggu ketertiban lingkungan. Situasi yang tidak tertangani dengan baik akhirnya memicu tindakan anarkis.
“Kami menyesalkan bentuk kekerasan apa pun atas nama keberatan keagamaan. Regulasi ini disiapkan agar penyelesaian konflik dilakukan melalui jalur hukum dan dialog, bukan aksi sepihak yang merusak kerukunan,” tegas Gus Adib.
Regulasi yang tengah disusun akan mengatur sejumlah aspek penting seperti:
Kemenag juga akan memperkuat sinergi lintas kementerian dan pemerintah daerah dalam tata kelola rumah ibadah, termasuk pendekatan kolaboratif dengan stakeholder lokal.
“Indonesia memerlukan regulasi yang tidak hanya administratif, tapi juga mengedepankan semangat musyawarah, toleransi, dan kerukunan,” tutur Gus Adib yang juga merupakan alumni Flinders University Australia.
Sebagai bentuk penguatan respons dini, Kemenag juga tengah menyiapkan Early Warning System (EWS)—sistem deteksi dini konflik sosial keagamaan yang akan melibatkan lintas direktorat bimbingan masyarakat (Bimas) dan organisasi masyarakat.
“Kerukunan adalah aset nasional. Ini adalah tanggung jawab kita semua, bukan hanya pemerintah. Kami juga mengapresiasi respon cepat Gubernur Jawa Barat dan semua pihak yang menjaga situasi tetap kondusif,” ujarnya.
Dengan kehadiran regulasi ini, diharapkan praktik keagamaan berskala kecil seperti rumah doa dapat memiliki kepastian hukum, terlindungi, sekaligus tetap harmonis dengan lingkungan sosialnya. (HDS)