KPK Periksa Direktur BRINS Terkait Kasus Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI
RATAS.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini memeriksa Direktur PT Helios Informatika Nusantara, Royani, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank BUMN periode 2020–2024. Royani tiba di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, sekitar pukul 09.42 WIB.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Senin (13/10/2025).
PT Helios Informatika Nusantara diketahui merupakan bagian dari CTI Group (Computrade Technology International) yang berdiri sejak 2014 dan bergerak di sektor penyediaan infrastruktur teknologi serta distribusi produk digital.
Penyidikan kasus ini dimulai oleh KPK pada 26 Juni 2026. Pada 9 Juli 2025, KPK telah menetapkan lima tersangka, yakni mantan Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto (CBH); mantan Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI sekaligus mantan Direktur Utama Allo Bank, Indra Utoyo (IU); SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI, Dedi Sunardi (DS); Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi, Elvizar (EL); serta Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi, Rudy Suprayudi Kartadidjaja (RSK).
Dalam konstruksi perkara, pengadaan mesin EDC dilakukan melalui dua skema, yakni beli putus dan sewa. Skema beli putus mencakup 346.838 unit senilai Rp942 miliar, sementara skema sewa mencakup 200.067 unit dengan nilai Rp1,2 triliun. Total anggaran pengadaan EDC mencapai Rp2,1 triliun.
Dalam prosesnya, EL bersama IU dan CBH diduga sepakat menjadikan EL sebagai vendor EDC Android dengan melibatkan PT Bringin Inti Teknologi (BIT). IU disebut mengarahkan uji teknis hanya untuk merek tertentu tanpa pengumuman terbuka serta menyusun term of reference (TOR) yang menguntungkan pihak tertentu.
Selain itu, penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) diduga didasarkan pada harga dari vendor yang telah ditentukan sebagai pemenang, bukan harga resmi dari prinsipal. Pada skema sewa, vendor pemenang juga disebut mensubkontrakkan seluruh pengadaan tanpa izin dari BRI. Akibat pengondisian tersebut, kerugian keuangan negara dalam perhitungan awal ditaksir mencapai Rp744 miliar.
Sebagai imbalan atas dimenangkannya proyek, CBH diduga menerima hadiah senilai total Rp525 juta dari EL. Selain itu, terdapat dugaan fee dari PT Verifone Indonesia kepada RSK sebesar Rp5.000 per unit per bulan, dengan total mencapai Rp10,9 miliar hingga 2024.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.