RATAS – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah sejak Januari 2025 telah menjangkau lebih dari 8 juta anak PAUD dan SD di seluruh Indonesia. Program ini diapresiasi karena memberikan dampak langsung terhadap pemenuhan gizi anak serta mendorong ekonomi lokal melalui keterlibatan petani dan UMKM. Namun, sejumlah pihak menyoroti potensi masalah tata kelola dan pengadaan yang bisa menghambat keberlanjutan program ini.
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), menilai MBG sebagai program sosial yang punya potensi menjadi role model pelayanan publik. Menurutnya, keberhasilan awal program terlihat dari meningkatnya angka partisipasi sekolah dan keterlibatan pelaku ekonomi mikro seperti peternak, petani, dan pelaku usaha pangan lokal.
“Untuk pertama kalinya, negara hadir dari piring makan anak-anak. Tapi justru karena itu, pengawasan harus ekstra ketat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (2/5).
Iskandar menekankan bahwa MBG memiliki sejumlah kelebihan yang patut dijaga, antara lain intervensi gizi langsung, stimulus ekonomi mikro, integrasi data penerima bantuan sosial, serta partisipasi guru dan sekolah dalam distribusi makanan.
Namun demikian, munculnya dugaan penyimpangan di lapangan menjadi alarm penting. Mengutip laporan IDN Times edisi April 2025, Iskandar menyebut adanya indikasi penunjukan langsung vendor tanpa prosedur darurat yang sah, dugaan mark-up harga makanan hingga 30%, serta temuan makanan kedaluwarsa di beberapa titik distribusi.
Jika terbukti benar, kata dia, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap sejumlah regulasi, termasuk Perpres No. 12/2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa, UU No. 18/2012 tentang Pangan, dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Program MBG dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga baru yang dibentuk lewat Perpres No. 83 Tahun 2024 dan berada langsung di bawah Presiden. Namun, BGN dinilai belum memiliki sistem pengawasan yang memadai.
“Tanpa audit independen dan transparansi pengadaan, BGN bisa menjadi titik rawan korupsi. Ini harus dicegah sejak awal,” ujar Iskandar.
Untuk menjaga akuntabilitas program, IAW merekomendasikan sejumlah langkah korektif, seperti:
Iskandar mengingatkan agar program ini tidak berubah dari harapan menjadi beban fiskal negara.
“Anak-anak tidak butuh nasi beraroma korupsi. Mereka butuh negara yang jujur menyuapi masa depan mereka,” pungkasnya.
Program MBG dialokasikan anggaran sebesar Rp10 triliun per tahun, dan merupakan salah satu program prioritas nasional dalam kerangka penurunan angka stunting dan penguatan sumber daya manusia sejak usia dini. (HDS)